Jakarta, DKPP – Pilkada serentak 2020 akan digelar hanya dalam hitungan lagi yakni pada 9 Desember mendatang. Pilkada kali ini dilaksanakan dalam posisi yang paling sulit. Penyelenggara pemilu dihadapkan pada situasi pandemi covid-19 yang tentunya akan mempengaruhi proses pelaksanaannya. Meskipun demikian hal ini jangan sampai mengurangi kualitas demokrasi.
Hal ini disampaikan Anggota DKPP, Prof. Teguh Prasetyo saat menjadi narasumber “Webinar Nasional Penanganan Pengaduan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu Di Lingkungan Partai Politik Dan Tim Kampanye Pasangan Calon”. Dalam webinar ini Prof. Teguh menyampaikan materi berjudul ‘Orientasi Penegakan Kode Etik Pilkada Bermartabat di Masa Pandemi’.
Prof. Teguh menjelaskan bahwa DKPP diberi mandat sebagai institusi yang mengawal dan menegakkan kode etik bagi penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu.
“Kalau kita cermati, etik dalam ketentuan dalam undang-undang pemilu adalah suatu kesatuan asas moral, etika dan filosofi yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilu. Etik adalah suatu kewajiban, larangan tindakan atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh penyelenggara pemilu,” jelasnya.
Lanjut dia, kode etik penyelenggara pemilu hendaknya menjadi panduan bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan tugasnya menyelenggarakan tahapan pemilu. “Penyelenggara pemilu harus bisa menjaga trust atau kepercayaannya dari masyarakat,” katanya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pelita Harapan ini memaparkan 11 prinsip penyelenggara pemilu yakni mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Sebagai lembaga keadilan etik, DKPP menerima bermacam-macam aduan. Dalam konteks aduan ini, DKPP telah berupaya mengembangkan suatu sistem peradilan sederhana, mudah dipahami dan dilaksanakan. Sistem peradilan yang memberi ruang bagi pengadu atau teradu memperoleh keadilan, karena salah satu prinsip persidangan DKPP adalah ‘audi et alteram partem’ yakni mendengarkan semua pihak. Sanksi yang diberikan DKP pun beragam, mulai peringatan, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap, dan rehabilitasi.
Sebagai penegak kode etik, tugas DKPP tidak terbatas hanya memberikan sanksi etik, tetapi juga memberikan edukasi. Dalam kaitannya dengan edukasi, Teguh menegaskan bahwa yang perlu dilakukan adalah meletakkan pijakan moralitas.
“Untuk mencapai suatu pilkada yang bermartabat harus didasarkan pada nilai-nilai atau fondasi integritas. Dengan fondasi yang kokoh maka penyelenggara pemilu tidak mudah goyah dan tumbang karena godaan,” lanjut dia.
Prof. Teguh mengingatkan sebagai bangsa yang besar, Indonesia terbentuk dari perbedaan golongan, suku, bahasa dan istiadat kemudian menyatukan diri sebagai satu bangsa, satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Indonesia adalah plural tapi ika, berbeda tetapi satu.
Hal ini sesuai yang dituangkan penulis 42 buku ini dalam buku ‘Filsafat Pemilu’. Berkontestasi, dalam demokrasi capital dan liberal ‘one man one vote’ para kontestan cenderung melakukan berbagai hal untuk memenangkan kontestasi tersebut.
“Inilah pentingnya fondasi filsafat pemilu sebagai suatu pijakan. Kita boleh berkontestasi tapi harus dalam nilai-nilai sila yang pertama, kita boleh kontestasi, tapi jangan menggoyang nilai-nilai kemanusian, atau nilai-nilai persatuan, atau mencederai suara rakyat atau kejujuran dan sebagainya,” papar Prof.Teguh.
Prof. Teguh berpendapat kontestasi dalam pilkada tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat. Inilah pentingnya ‘Pilkada Bermartabat’. DKPP pun telah melakukan kerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia salah satunya untuk mengkampanyekan “Pilkada Bermartabat’, membangun pijakan moralitas.
“Pijakan moralitas merupakan fondasi filsafat yang dibangun mulai dari kata plural tadi. Berbeda namun satu. Pada saat itu sudah menjadi pijakan, tentu penyelenggara pemilu memiliki dasar yang kuat. Saya mengibaratkan sebagai gedung yang tinggi, kemudian bisa berdiri kokoh, ada angin kencang sekali pun akan tetap bertahan karena fondasinya kuat, tambahnya.
Terkait pilkada, terlebih pilkada di tengah pandemi, bagaimana kemudian pilkada ini harus diselenggarakan dengan baik, Prof. Teguh menekankan untuk meletakkan pikiran-pikiran dasar, terus mengingat, memelihara dan menyegarkan kode etik.
“Nilai itu abstrak, harus ditindak lanjuti dengan perbuatan. Nilai adil abstrak, penyelenggara menindaklanjutinya dengan melakukan tindakan-tindakan konkrit bagi para peserta, kontestan, semua komponen dalam pilkada ini. Dengan kondisi ini dengan kebijakan filsafat, penyelenggara pemilu memegang prinsip-prinsip etika, menjaga hak-hak individu, baik pasangan calon, jujur dan adil,” pungkasnya.
Narasumber lain dalam webinar nasional ini adalah Prof. Dr. Anna Erliyana, Guru Besar Hukum Administrasi FH UI dan Lucius Karus, Peneliti Formappi dengan moderator Tenaga Ahli DKPP, Rian A. Prabowo. [Humas DKPP]