Jakarta, DKPP – Pilkada serentak 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang tinggal memasuki hitungan hari. Pilkada yang diselenggarakan di tengah pandemi covid-19 ini merupakan pilihan sulit bagi pemerintah jika dihubungkan dengan periodisasi akhir masa jabatan kepala daerah dan belum diketahuinya kapan pandemi ini akan berakhir.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Teguh Prasetyo menjadi narasumber Webinar Nasional ‘Mewujudkan Pilkada Serentak 2020 Yang Berintegritas’ pada Kamis (19/11/20). Adapun tema yang disampaikan yakni ‘Mewujudkan Pilkada Bermartabat Dalam Masa Pandemi Covid-19’. Prof. Teguh mengawali paparannya dengan menjelaskan teori yang digagasnya yakni Teori Keadilan Bermartabat.
Teori Keadilan Bermartabat adalah suatu teori hukum yang dibangun dengan meramu pikiran-pikiran tentang hukum dari bumi Indonesia sendiri. Teori keadilan bermartabat berangkat dari postulat sistem; bekerja mencapai tujuan, yaitu keadilan bermartabat. Keadilan yang memanusiakan manusia, atau keadilan yang nge wong ke wong.
Konsepsi keadilan bermartabat digali dari falsafah Bangsa Indonesia. Jati diri Bangsa Indonesia yang termanifestasikan dalam Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum dan sebagai ideologi, sebagai falsafah bangsa dan negara. Konsep keadilan yang dimaksud sangat berbeda dengan keadilan dari konsep barat.
“Konsep keadilan menurut barat lebih pada properti. Lebih bersifat kebendaan atau materilialistik. Seperti sesuai dengan haknya, sesuai dengan jasanya, sesuai dengan prestasinya,” jelas Prof. Teguh.
Semua itu adalah hitung-hitungan material. Spritual agak diabaikan. Ukuran keadilan bermartabat bersumber pada Pancasila khususnya sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil dalam arti manusia mengandung aspek material. Kemudian, sila kedua itu dijiwai oleh sila pertama, yaitu Ketuhanan.
Konsepsi keadilan bermartabat mengandung dua aspek. Pertama aspek material, dan kedua aspek spiritual. Jadi keadilan bermartabat atau dalam bahasa Inggrisnya dignified justice adalah keadilan yang memanusiakan manusia. Keadilan yang menempatkan manusia pada porsi yang sebenarnya. Porsi yang seadil-adilnyanya. Porsi yang seutuhnya.
Lanjut Prof. Teguh, terbentuknya negara Indonesia ini karena ada komitmen. Komitmen dari Plural menjadi Ika, dari Bhinneka menjadi Ika. Dari berbeda tetapi satu. Yaitu dimulai dari satu nusa, satu bangsa, satu Bahasa, satu tanah air, satu bangsa, satu Indonesia, yakni sumpah pemuda. Inilah pijakan berdirinya NKRI yang kemudian ditegaskan dan ada dalam proklamasi dan pancasila.
Terkait fisafat pemilu, Pancasila adalah pijakan atau ideologi negara yang mempersatukan seluruh wilayah Indonesia. “Jadi, pilkada tidak boleh menggoyah sendi-sendi fundamental ideologi bangsa ini. Sendi-sendi fundamental itu ada dalam filsafat pemilu. Tidak boleh melanggar aturan Tuhan, hukum Tuhan, takut akan Tuhan. Kemudian tidak boleh menggoyang nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dengan hoaks, adu domba antargolongan, kemudian tidak boleh melanggar hikmah suara rakyat, yaitu mengganti suara atau memanipulasi suara, “ katanya.
Berdasarkan pijakan filsafat pemilu yang digali dari nilai-nilail luhur bangsa inilah tumbuh etika bagi penyelenggara pemilu. Prof. Teguh penulis 42 buku ini menegaskan bahwa pilkada tidak cukup hanya berintegitas.
“Integritas bagi saya sudah selesai pada saat pergeseran sebelum orde reformasi. Waktu itu pelaksanaan pemilu ditangani oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Pada saat orde baru jatuh berganti menjadi orde reformasi, maka yang dilakukan pada orde reformasi adalah penyelenggara pemilu jangan seperti LPU, tetapi harus berintegritas, mandiri, jujur, tidak memihak. Tetapi setelah pemilu ini berjalan sampai 5 kali, tidak cukup hanya berintegritas, harus dinaikkan derajatnya menjadi lebih tinggi yaitu bermartabat,” ungkapnya.
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pelita Harapan ini, martabat adalah nilai yang tertinggi dalam demokrasi, nilai yang tertinggi terhadap perubahan-perubahan, kepastian, dan keadilan.
“Ini namanya fair. Atas dasar pikiran itulah, karena negara Indonesia adalah negara yang plural tetapi satu, maka di 270 daerah yang akan menggelar pilkada harus ditekankan jangan mengganggu atau menggoyang-goyangkan nilai yang menyebabkan Indonesia ini menjadi beda, tetapi menjadi satu,” tutupnya.
Narasumber lain yakni Dr. Luqman Hakim, SH., MH ,Dr. Edi Hasibuan, SH., MH , Dr. Erwin Owen Hermansyah, dan Dr. Amalia dari Fakultas Hukum Bhayangkara Jakarta. [Humas DKPP]