Jambi, DKPP – Tahun 2019 menjadi
tahun penting karena peristiwa demokrasi dan politik luar biasa untuk
Indonesia. Demokrasi yang diawali dari Pemilu, harus menghasilkan pemimpin yang
berintegritas. Dan pemilu yang berintegritas, diawali dari Penyelenggara Pemilu
yang Berintegritas. Ada lima syarat pemilu demokratis yaitu regulasi yang jelas
dan tegas, peserta pemilu yang taat aturan, ‎pemilih yang cerdas dan partisipatif
‎Birokrasi netral ‎Penyelenggara yang kompeten serta berintegritas.
Etika adalah  standar nilai yang sangat tinggi, jauh di atas
hukum. Hukum itu tingkatannya jelas pidana atau perdata, karena itu penyelenggara
Pemilu tidak hanya harus peka terhadap hukum (sense of regulation), tetapi juga
harus memiliki kepekaan terhadap etika (sense of ethics).
Hal ini disampaikan Anggota DKPP,
Prof Muhammad saat menjadi narasumber pada acara Bimtek Peningkatan SDM Anggota
Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi yang diselenggarakan di Hotel BW
Luxury Kota Jambi, Kamis (6/9).
Prof. Muhammad menyampaikan
materi, “Kode Etik Penyelenggara Pemiluâ€, di hadapan anggota Bawaslu Kab/kota se
Provinsi Jambi. Selain anggota DKPP hadir juga ketua dan anggota Bawaslu
Provinsi Asnawi Rivai dan Rofiqoh Pebrianti. Kab/kota peserta acara ini terdiri
atas Kota Jambi, Kota sungai penuh, Kab. Muaro Jambi, Kab. Tanjung Jabung
Barat, Kab. Tanjung Jabung Timur,Kab Sarolangun, Kab Merangin, Kab Kerinci,
Kab. Tebo, Kab. Bungo, dan Kab Batanghari.
“Kode Etik Penyelenggara Pemilu
merupakan suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman
perilaku bagi Penyelenggara Pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan
dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu,â€
kata Muhammad.
“Karena itu seorang penyelenggara
Pemilu harus paham terhadap peraturan-peraturan Pemilu. Namun yang jauh lebih
penting adalah terkait etika. Tidak semua diatur dalam hukum. Secara hukum bisa
saja benar akan tetapi tapi tidak patut,†lanjutnya.
Prof. Muhammad kemudian memberi
contoh bahwa tidak ada peraturan yang melarang seseorang (penyelenggara pemilu-red)
bertemu dengan calon peserta Pemilu di warung kopi  saat tahapan Pemilu. Akan tetapi, secara etika
bisa diukur atau dirasakan oleh penyelenggara pemilu itu sendiri.
“Untuk mengukur etika tidaklah
sulit. Apakah sikap atau tindakan keputusan itu membuat bimbang, maka sikap
atau keputusan tersebut sebaiknya hindari sikap atau keputusan tersebut. Karena
bisa saja berpotensi melanggar kode etik. Tetapi, bila sikap atau keputusan itu
terasa mantap, dan pihak lain pun setuju, maka lakukan terus,†tambahnya.
Guru Besar Ilmu Politik
Universitas Makassar ini berpesan penyelenggara Pemilu untuk membangun dan
menjaga etika diawali dari orang-per orang atau internal penyelenggara Pemilu.
Bila etika sudah terbangun di tingkat internal, maka etika di tingkat lembaga
akan mudah terbangun.
“Etika personal adalah fondasi
untuk membangun etika organisasi. Etika itu harus dijaga kualitasnya. Tidak
hanya sebatas lisan melainkan dalam bentuk sikap atau perbuatan. Karena seorang
penyelenggara Pemilu memiliki tugas mulia, yaitu menghasilkan kepala negara,
kepala daerah, bahkan termasuk legislator, pembuat undang-undang, yang
berintegritas dan bermartabat,†pungkasnya. [Dina_Dio]
Â
‎Â