Jakarta, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Muhammad mengungkapkan Indonesia tidak kekurangan ahli tata Kelola pemilu. Namun mengelola pemilu dan pilkada tidak cukup jika hanya mengandalkan keahlian semata.
Pernyataan itu disampaikan Prof. Muhammad dalam Seminar Nasional ‘Penguatan Demokrasi dan Integritas Pemilu di Indonesia’ yang digelar oleh DKPP dengan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) di Jakarta.
“Kesimpulan DKPP bahwa mengelola pemilu dan pilkada ini tidak cukup mengandalkan ahli tata kelola pemilu, sudah banyak ahli tata kelola pemilu yang tidak diragukan. Tetapi harus dikuatkan dengan ahli tata perilaku atau etika,” tegas Muhammad.
Tanpa etika keahlian tata kelola pemilu bisa digunakan untuk hal-hal yang negatif, termasuk merubah suara. Maka dari itu, keahlian tersebut perlu dikuatkan dengan pondasi etika.
“Bahasa sederhananya fondasi etika ini kita sebut nilai-nilai integritas,” sambung Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin ini.
Kombinasi antara ahli tata kelola pemilu dan ahli tata etika perilaku, sambung Muhammad, akan menghasilkan pemilu yang berintegritas serta kredibel tanpa perselisihan baik di Mahkamah Konstitusi maupun DKPP.
Dalam seminar tersebut, Muhammad juga menyayangkan kontestasi pilkada berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK). Suara masyarakat menjadi tidak berarti karena yang menentukan pemenang pilkada adalah sembilan hakim MK.
“Saya sangat sedih kalau pilkada berakhir di MK. Masyarakat dan penyelenggara tidak mampu menyelesaikan perselisihan, sehingga harus berakhir di tangan sembilan hakim MK,” pungkasnya.
Sebagai informasi, narasumber lain dalam Seminar Nasional Penguatan Demokrasi dan Integritas Pemilu di Indonesia dr. H. Syahrizal Syarif, M.PH., P.hD (Wakil Rektor Unusia), Kaka Suminta (Sekjen KIPP), Daniel Zuchron (Anggota Bawaslu RI 2012-2017/Dosen Filsafat Unusia), dan Dahlia Umar (Ketua Netfid Indonesia). (Humas DKPP)