Jakarta, DKPP − DKPP RI menggelar acara Peluncuran dan Bedah Buku Karya Ketua DKPP, Prof. Muhammad berjudul ‘Etika & Pemilu Demokratis’ pada Sabtu (19/12/2020) di Redtop Hotel and Convention Centre, Jakarta pukul 08.30 WIB.
Penulisan buku ini dilatarbelakangi keresahan Prof. Muhammad karena terlalu banyak orang mempertentangkan hukum dan etika, dan hanya sedikit yang bisa menganggap hukum dan etika adalah sesuatu yang tidak bisa dipertentangkan.
“Harusnya direkatkan, dikuatkan. Jadi sependek bacaan saya lebih banyak ahli, penulis yang mempertentangkan. Hukum dan etika ini katanya seperti ‘air dan minyak’, tidak bisa bersatu ,” ungkapnya.
Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin ini, kita tidak bisa memaksakan nilai-nilai etika itu diatur dalam hukum formal atau hukum positif karena etika sangat individualistik, sangat personal. Sehingga negara tidak bisa menyusun dalam sebuah hukum-hukum positif, hukum-hukum formal.
“Tetapi apakah hukum dan etika ini harus selalu dipertentangkan sebagai sebuah dualisme? Nah saya mencoba mengurangi jarak pandangan itu, bahwa hukum dan etika ini tidak bisa dipandang sebagai sebuah dualisme tapi sebuah dualitas, jika dualitas maka akan saling menguatkan” kata Muhammad.
“Hukum yang dipatuhi secara tepat, secara benar adalah etika tertinggi. Dalam pandangan saya hukum yang dipatuhi secara tepat, secara benar ditegakkan sebagaimana mestinya adalah etika yang tertinggi,” tegasnya.
Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan buku ‘Etika & Pemilu Demokratis’, mencoba agar hukum dan etika, keduanya jangan dipertentangkan tetapi justru harus dikuatkan, disinergikan, dipadukan untuk melahirkan sebuah pemilu atau pilkada yang demokratis.
Lanjut Muhammad, Indonesia tidak kekurangan ahli tata kelola pemilu. Sebelumnya ketika lembaga KPU dan Bawaslu sudah independen, sudah mulai ada upaya untuk menghadirkan produk SDM penyelenggara pemilu yang baik, SDM penyelenggara yang aspek kemandiriannya benar-benar menjadi pertama dan utama.
Hal ini ternyata masih belum cukup. Data putusan DKPP mengkonfirmasi, penyelenggara yang hanya mengandalkan kemampuan tata kelola pemilu ternyata tidak sedikit kasus di mana keahliannya itu justru digunakan untuk mengubah hasil pemilu.
“Ini ahli juga, ahli mengubah hasil pemilu. Sayang sekali keahlian, pengalaman, dan durasi selama dia mengabdi sebagai penyelenggara, tahu mana lubang-lubangnya justru digunakan untuk melakukan manipulasi perolehan suara. Terjadilah kongkalikong, kedap kedip mata dengan peserta atau partai politik,” urainya.
Tugas mulia KPU, Bawaslu, DKPP, dan masyarakat sipil tugasnya adalah memastikan siapa warga negara yang mayoritas dipilih oleh rakyat di kotak suara harus dikawal secara berjenjang sebagai pemilik kursi atau pemenang pemilu.
“Tapi fakta membuktikan ternyata ada orang yang menang di TPS, berubah direkap kecamatan, berubah lagi di kabupaten, berubah lagi saat dilantik. Oleh karena itu, sekali lagi saya mencoba menulis supaya keduanya ini jangan dipertentangkan tetapi justru harus dikuatkan, disinergikan, dipadukan untuk melahirkan sebuah pemilu atau pilkada yang demokratis,” pungkasnya
Bertindak selaku pembedah Dr. Mulyadi, akademisi Universitas Indonesia dan Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP., M.Si., Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan moderator Rahman Yasin. Bedah buku dihadiri peserta Rapat Kerja Nasional Tim Pemeriksa Daerah dan Penyampaian Laporan Kinerja (Lapkin) DKPP Tahun 2020. [Humas DKPP]