Jakarta, DKPP – Mahkamah Konstitusi yang didirikan pada tahun 2003 di Indonesia bukan
Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Hal ini disampaikan Ketua DKPP Prof. Jimly
Asshiddiqie saat hadir sebagai narasumber pada kegiatan Studium Generale dalam rangakaian
acara UIN Law fair 2015 yang bertempat di Auditorium Harun Nasution Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Senin (9/11).
“Negara Indonesia bukan pelopor pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Negara pertama yang mendirikan Mahkamah Konstitusi tahun 1920 adalah Austria,
buah pikiran Hans Kelsen. MKRI yang dibentuk tahun 2003 adalah nomor 79 di dunia namun merupakan
MK pertama di abad 21,†urai Prof. Jimly yang disambut tepuk tangan oleh peserta kegiatan Studium
Generale UIN Law fair yang mengusung tema “Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga
Hak Asasi dan Demokrasiâ€.
Dijelaskan oleh Prof. Jimly apabila membicarakan hakikat MK ada
beberapa poin yang harus dimengerti. Pertama ide tentang demokrasi, kedua ide tentang
rule of law dan ketiga tentang human rights atau minority rights. Karena
jika demokrasi tidak diimbangi oleh human
rights hanya akan menjelma menjadi
prosedur-prosedur formal bernegara namun tidak mengarah pada kebaikan dan tidak
menjamin keadilan. Maka agar demokrasi baik harus dilengkapi dengan majority rules namun juga majority rights.
“Maka para ahli selalu membandingkan demokrasi dengan human rights, majority rules dengan majority
rights, agar demokrasinya substansial maka ada tiga hal yang harus dipahami
dengan tepat. Pertama ide tentang demokrasi, lalu tentang rule of law dan yang ketiga adalah ide tentang human rights. Ketiga
poin ini penting untuk memahami hakikat Mahkamah Konstitusi,†ungkap Ketua Mahkamah
Konstitusi periode 2003-2008.
Menurut guru besar hukum tata negara Universitas
Indonesia itu, kehadiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang merupakan roh dari
reformasi adalah dalam rangka menegakkan prinsip pemerintahan konstitusional. Oleh
karena itu diharapkan Mahkamah
Konstitusi segera bangun dari keterpurukan dan mampu
kembali berperan aktif sesuai dengan fungsinya.
“Harapan saya, setelah kasus yang melibatkan ketua MK sebelumnya dan
mudah-mudahan kini di bawah kepemimpinan Pak Arif (Ketua MK periode 2013-2016-red) perannya dapat
kembali menonjol dalam membina demokrasi dan hak asasi manusia,†pungkas dia. [Prasetya Agung N]