Surakarta, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP), Prof. Jimly Asshidiqqie memberikan contoh, dalam
konstitusi Equador di artikel chapter
enam pemilihan umum disebut sebagai Electoral Branch Of Government, jadi pemilu
adalah cabang kekuasaan sendiri sebabnya pejabat eksekutif peserta pemilu mulai
dari presiden sampai kepala daerah, mereka adalah orang yang harus diurus oleh
penyelenggara pemilu.
Hal
tersebut disampaikan saat memberikan kuliah etika pada pembukaan bimbingan teknis
yang bertempat Ball Room Lor In Hotel, Kamis (23/4) mengatakan bahwa program bimbingan teknis tiga lembaga ini di maksudkan untuk membangun
sinergitas dan meningkatkan kinerja dalam rangka persiapan Pilkada serentak
2015.
“Pejabat
legislatif peserta pemilu juga, jadi penyelenggara pemilu musti dekat tapi
hati-hati mereka peserta pemilu tidak boleh ada konflik kepentingan. Pejabat
yudikatif akan mengadili proses dan hasil pemilu jadi penyelenggara pemilu
ditempatkan dalam posisi The Court Estate Of Indonesia Democracy maka cara
berpikir cara, bekerja harus berbeda dengan presiden atau kepala daerah.
“Sehebat-hebatnya
presiden dia tetap peserta pemilu. Ketika dia incumbent mau nyalon lagi bertemu dengan ketua KPU/Bawaslu mereka
setara. Jadi harus punya interpretasi posisi yang berbeda, punya integritas,
sikap netral, sikap independen seperti sikap-sikap yang sudah dituangkan di
undang-undang dan kode etik. Jadi tanpa cara pandang yang berbeda penyelenggara
pemilu nanti kesulitan,†paparnya.
Dalam
The Court Estate Of Indonesia Democracy menurut Prof. Jimly staf penyelenggara
pemilu nanti diangkat oleh kepala daerah, Sekjen diangkat dengan Keppres, nanti
ada kultur birokrasi dalam tubuh organisasi yang harus dikelola. Jimly bersyukur
undang-undang telah mendesain. Pegawai PNS KPU dan Bawaslu punya NIP sendiri
itu artinya desainnya sudah benar, bahwa pada saatnya nanti pegawai KPU/Bawaslu
bukan pegawai Depdagri, bukan lagi pegawai Pemda tapi pegawai KPU/Bawaslu
sendiri, bahwa dia diangkat dan diberhentikan sesuai undang-undang kepegawaian
memang sudah seperti itu aturannya.
“Tidak
usah pegawai,KPU, Bawaslu dan DKPP pun diangkat dengan Keppres, anggota MPR pun
dengan Keppres. Tapi tidak dengan adanya
Keppres penyelenggara pemilu menjadi bawahan dia. Itu hanya administrasi saja.
Jadi seluruh pegawai KPU/Bawaslu seluruh Indonesia harus menyadari itu, dia
bukan bagian dari ekskutif, legislatif maupun yudikatif. Dia adalah bagian dari
Court Estate, cabang kekuasaan sendiri, maka kasek KPU di daerah bukan bawahan
pemda tapi bawahan komisioner, pimpinan kita adalah komisioner, maka sinergi
menjadi amat penting sekali,†jelasnya lagi
Prof.
Jimly mengatakan bahwa pengertian mengenai The Court Estate ini masih cita-cita
tapi trend ke arah itu tidak sulit, karena itu kita harus mengarahkan cara
berpikir bangsa kita, kaum intelektual kita supaya suatu hari penyelenggara
pemilu itu menjadi suatu cabang kekuasaan sendiri. Inti dari demokrasi adalah
bahwa kekuasaan itu dipergilirkan. Pergiliran itu dilakukan melalui sebuah
mekanisme yang namanya pemilu karena pemilu dam parpol menjadi pilar demokrasi.
Penyelenggara pemilu mengurusi mekanisme pilar ini termasuk parpol. Bagi Jimly
yang betul adalah parpol itu bukan urusan mendagri. Pemerintah itu hanya sampai
pada urusan status badan hukumnya saja selebihnya itu urusan penyelenggara
pemilu, termasuk misalnya kalau parpol mau dibubarkan itu bukan pemerintah yang
mengajukan ke MK sebagaimana diatur dalam UU MK sekarang.
Tidak
bisa dibiarkan di masa depan pemerintah diberi legal standing untuk membubarkan
parpol ke MK. Yang mengawasi kinerja parpol dalam pemilu itu adalah
penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu, maka Bawaslulah yang tepat diberi
legal standing untuk menuntut pembubaran parpol kalau melanggar undang-undang.
Jadi urusan segala peserta pemilu, penyelenggaraan pemilu itu selesai di
internal institusi penyelenggara pemilu.
“Jadi
saudara-saudara kita harus merekonstruksi ini, kemungkinan munculnya kesadaran
baru di kalangan laum penentu kebijakan kita bahwa penyelenggara pemilu begitu
pentingnya menjadi cabang tersendiri dari sistem kekuasaan negara supaya
demokrasi kita langgeng dan demokrasi kita juga terus menerus mendapatkan peluang untuk tumbuh dan berkembang
sesuai kebutuhan jaman. Termasuk juga peranan etika dalam berdemokrasi,†tambah
dia.
“Sekarang
etika kita install dalam sistem pemilu
tapi baru terkait dengan penyelenggara pemilu belum peserta pemilu, padahal
peserta pemilu sama-sama harus beretika. Maka itu upaya kita dalam menegakkan
kode etik penyelenggara pemilu merupakan permulaan yang baik untuk nanti
akhirnya kita mendorong integritas peserta, integritas kandidat supaya adil dan
pemilu betul-betul bisa diselenggarakan secara berintegritas. Kalau pemilunya
berintegritas maka demokrasi pun berintegritas sehingga standar umum abad 21
ini mengenai demokrasi ya demokrasinya harus berintegritas, maknanya adalah
demokrasi masa kini bukan hanya dia harus ditandai dengan tegaknya rule of law tetapi juga rule of ethics. Ini sesuatu yang sangat
mendasar dan kalau sukses “proyek integritas pemilu†dan “proyek integritas demokrasiâ€, kita bisa
menjadi contoh untuk dunia,†Jimly menutup paparannya. [Diah Widyawati]