Jakarta, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaa
Pemilu (DKPP) Prof. Jimly Asshiddiqie
berpendapat bahwa ada atau tidak adanya ambang batas (parliamentary threshold)
tidaklah terlalu prinsipil. Kedua-duanya konstitusional.
“Cuman kalau dibayangkan threshold itu
akan efektif menyebabkan terjadinya penyederhanaan partai, menurut saya tidak.
Kecuali kalau ekstrim angkanya,†jelas dia di ruang kerjanya, belum lama ini.
Akan tetapi bila angka ambang batas
terlalu besar maka akan menghambat kebebasan. Pasalnya, masyarakat di Indonesia
terlalu majemuk dan kompleks. Tidak bisa mencegah orang atau kelompok untuk
mendirikan partai. Kecenderungan yang terjadi orang yang kecewa
terhadap salah satu partai, maka akan berpotensi mendirikan partai baru.
“Jadi menurut saya, tidak bisa kita
memaksakan diri untuk menyederhanakan jumlah partai dengan threshold.
Pilihannya, angka tinggi tapi menghambat demokrasi. Angkanya rendah tidak
membuat orang tobat untuk membuat partai lagi. Itu sulit,†ungkap dia.
Dia menerangkan, kebijakan threshold itu
berguna untuk penyederhanaan manajemen pengelolaan Pemilu, bukan untuk maksud
mengurangi jumlah partai. Sebab tidak akan efektif karena peran partai masih
dibutuhkan untuk mengakomodasi masyarakat yang plural.
“Jadi, sebenarnya, dalam pemerintahan
lebih ideal kalau pemerintahan itu parlementer. Maka, di dalam tubuh kabinet
itu tercermin pluralitas masyarakat itu. Tapi oleh karena sistem pemerintahan
kita ini (menganut, red) sistem presidensial, tidak usah kita bicarakan sistem
parlementer itu. Kita bicara bagaimana memperkuat sistem presidensial aja,â€
kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI itu.
Caranya, lanjut dia, bukan dengan
membatasi jumlah partai. Partai banyak tidak menjadi masalah. Akan tetapi
struktur parlemennya itu yang diubah menjadi dua kekuatan atau dua barisan
seperi di Amerika. Di sana, ada dua kekuatan. Satu mewakili kaum produsen yang
bernaung di Partai Republik, sementara satu lagi kaum buruh yang diwakili oleh
Partai Demokrat.
“Apakah di Amerika partainya cuma dua?
Nggak. Banyak juga. Tiga puluhan lebih. Hanya tidak pernah kedengaran saja.
Yang besar itu cuma dua karena terbentuk sejak dua setengah abad. Dua basis
kepentingan, kekuatan. Republik dan Demokrat,†beber dia.
Di Indonesia akan sulit membayangkan
struktur kekuatan politik menjadi dua kekuatan hal ini mengingat keragamanan
atau pluralitas yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.
“Jadi caranya bagaimana? satu segi harus
diserap dalam struktur politik , yaitu partai. Biar saja banyak. Tapi begitu
masuk dalam stukrtur negara, di parlemennya dibikin dua fraksi. Yaitu,
pemerintah dan nonpemerintah. (Istilahnya, red) bukan oposisi
karena orang tidak suka (istilah, red) oposisi. Kalau di Amerika
istilahnya mayoritas dan minoritas. Di kita juga jangan menggunakan istilah
itu. Orang alergi dengan istilah mayoritas dan minoritas. Istilah lebih
tetapnya pemerintah dan nonpemerintah,†tutup Jimly. [Teten Jamaludin]