Makassar, DKPP- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Jimly Asshiddiqie,
Selasa (10/11), berkunjung ke Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam kunjungan
tersebut beliau berkesempatan mengisi ceramah ilmiah di dua perguruan tinggi,
yaitu Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Universitas Negeri Makassar (UNM).
Kepada para civitas akademika di dua kampus itu, Prof Jimly mengingatkan,
globalisasi masih menjadi tantangan sampai hari ini. Apalagi, jika tidak
disikapi secara kritis. Di dunia keilmuan, misalnya, globalisasi telah
mengusung pengetahuan dari luar. Bukan hanya itu, hampir semua institusi di
Indonesia juga mengadopsi dari luar. Misalnya kelembagaan seperti presiden,
DPR, BPK, dan lainnya, semua tidak ada yang asli dari Indonesia.
“Ini soal serius, kalau perguruan tinggi tidak tanggap bisa bahaya,†ujar
Prof Jimly.
Prof Jimly yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia,
Jakarta, menambahkan, masih jarang ada usaha untuk mengembangkan tradisi
sendiri sebagai referensi. Padahal, terangnya, banyak kearifan lokal (local
wisdom) yang sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dijadikan
contoh.
Berbicara demokrasi, selalu dihubungkan dengan Yunani kuno. Padahal di
Indonesia sendiri banyak tradisi bernegara yang dapat dijadikan rujukan.
Di Gowa, contohnya, abad 8 dan 9 ada kebiasaan raja-raja kecil memilih
raja besar. Ini tradisi modern di mana raja bukan didasarkan pada keturunan,
tapi dipilih. Itu sama dengan konsep negara federal yang di Amerika baru ada
pada abad 17, jelasnya.
Dengan kondisi itu, Prof Jimly mendorong agar kampus melalui penelitian yang
dilakukan dapat menggali kearifan-kearifan lokal yang dinilai relevan untuk
membangun peradaban demokrasi modern ala Indonesia. Diakuinya, ada diskrepansi (ketidaksesuaian)
antara pengetahuan modern dan tradisi lama karena tidak ada jembatan
penghubung.
“Di sinilah, peran kampus sangat dibutuhkan sebagai jembatan emas yang akan
menghubungkan antara modernitas dan local wisdom,†tuturnya. [Arif Syarwani]