Padang, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Prof. Jimly Asshiddiqie, memberikan ceramah ilmiah pada pembukaan
kegiatan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-2, yang diselenggarakan oleh
Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang,
Sumatera Barat, pada Hari Kamis (10/9/2015).
Dalam
ceramah ilmiahnya, Pakar Hukum Tata Negara ini mengatakan, PuSaKo hendaknya
terus aktif memainkan peran intelektualnya dalam rangka memberikan kontribusi
pemikiran terkait persoalan-persoalan yang tengah dihadapi bangsa. Peran PuSaKo
dalam mengembangkan tradisi penelitian yang produktif sangat diharapkan
masyarakat. Kajian-kajian soal ilmu politik, dan hukum ketatanegaraan diharapkan
memberikan solusi yang baik. Perubahan UUD 1945 dilakukan pada era reformasi
selama empat kali terus memerlukan kajian-kajian komprehensif dalam rangka
penguatan sistem ketatanegaraan kita.
“Secara vertical, perlu
diadakan pengaturan mengenai pola-pola hubungan fungsional antara pemerintahan
pusat, pemerintahan provinsi, pemerintahan daerah kabupaten dan kota serta
fungsi-fungsi yang lebih rendah, seperti pemerintahan desa, kesatuan masyarakat
hukum adat, dan lain-lain sebagainya,†tegas
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini.
“Demikian
pula secara horizontal, pola-pola hubungan antara Presiden sebagai Kepala
Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan dengan DPR, DPD, dan MPR yang berada
dalam cabang kekuasaan legislatif juga diatur dengan mekanisme yang tersendiri.
Di samping itu, ada hubungan yang saling berkaitan secara fungsional, misalnya,
dalam sistem penegakan hukum dan keadilan di bidang hukum pidana, ada
fungsi-fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penghakiman, dan pembinaan
serta pemasyarakatan terpidana,†lanjut dia.
Menurut mantan Ketua MK RI ini semua fungsi itu terkait dengan
institusi-institusi yang bersifat ‘cross-sectoral’
dan ‘cross-institutional’. Sebagai
satu kesatuan sistem peradilan pidana, semua kelembagaan yang terkait harus
dilihat sebagai satu kesatuan yang terpadu, akan tetapi keberadaannya dalam
sistem ‘trias politica’ harus pula
dilihat terpisah antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisialâ€. Di samping itu,
ragam fungsi kekuasaan negara yang dibedakan atas fungsi-fungsi (i) eksekutif,
(ii) legislatif, dan (iii) yudikatif atau ‘judicial
power’ tetap penting untuk dipertahankan, dengan ditambah satu cabang
kekuasaan baru lagi, yaitu fungsi pengelolaan sistem pemilu demokratis. Fungsi
terakhir dewasa ini tercermin dalam kedudukan dan fungsi Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilihan umum.
Sekarang, menurut UUD 1945, Presiden sajapun adalah juga
hasil pemilihan umum, sehingga tanggungjawab penyelenggaraan pemilihan umum tidak
lagi ditentukan berada di tangan Presiden, melainkan sepenuhnya berada di
tangan komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri sesuai
dengan ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Inilah yang saya namakan sebagai
‘Quadru-politica’ baru dalam arti
mikro, yaitu empat cabang kekuasaan yang terdiri atas cabang kekuasaan legislatif yang
menyusun dan menetapkan kebijakan-kebijakan utama negara dan pemerintahan (UU); cabang kekuasaan eksekutif yang
melaksanakan kebijakan-kebijakan negara dengan menjalankan roda pemerintahan; cabang kekuasaan yudikatif yang
menilai atau menguji kebijakan dan implementasinya melalui proses peradilan
serta menjalankan kekuasaan mengadili sesuai dengan kebijakan utama (UU) atau
kebijakan tertinggi (UUD) yang telah ditetapkan; dan cabang kekuasaan penyelenggara
pemilihan umum yang di masa depan dapat pula ditambah lagi dengan pengelolaan
rekruitmen pejabat publik melalui pemilihan lainnya.
“Mengenai cabang kekuasaan keempat, saya anggap sangat
strategis di masa kini dan masa depan, karena pemilihan umum merupakan pilar
utama demokrasi untuk memastikan siklus kekuasaan berlangsung secara tertib dan
damai. Bahkan di samping itu, semua jabatan-jabatan publik yang sangat membutuhkan kepercayaan publik (public trust), di samping ada yang diisi
dengan cara pengangkatan (appointment),
harus pula diisi dengan cara pemilihan (election),
baik dalam arti pemilihan langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum (direct election) atau dalam arti
pemilihan oleh rakyat secara tidak langsung (indirect election),†urai dia.
Masih dalam ceramah ilmiah tersebut Jimly menjelaskan
bahwa semua jabatan yang diisi dengan cara pemilihan disebut sebagai jabatan
politik, sedangkan jabatan yang diisi melalui pengangkatan disebut sebagai
jabatan administrasi. Jabatan-jabatan yang diisi dengan cara pemilihan, baik
langsung ataupun tidak langsung, merupakan jabatan-jabatan politik yang
mencerminkan sistem demokrasi, dan bahkan merupakan pilar pokok sistem
demokrasi modern. Karena itu, pengelolaannya harus dilakukan secara independen,
tersendiri, di luar pengaruh cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif yang
merupakan para peserta pemilihan umum, dan juga tidak berada dalam ranah
kekuasaan yudikatif yang akan mengadili sengketa pemilihan umum.
Maka
kita perlu kembangkan pengertian baru mengenai sistem kelembagaan dan mekanisme
pengisian jabatan-jabatan politik melalui pemilihan demokratis ini sebagai
cabang kekuasaan tersendiri. Lingkungan kekuasaannya sangat strategis dan tidak
hanya terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum saja, tetapi juga semua
kegiatan pemilihan pejabat yang tidak langsung, seperti pemilihan oleh DPR dan
DPRD juga harus dikaitkan dengan tugas dan tanggungjawab komisi penyelenggara
pemilihan demokrasi (democratic elections).
Pengertian pemilihan demokratis itu sendiri memang bukan saja pemilihan umum,
tetapi dapat juga diselenggarakan secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) ataupun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Mekanisme
hubungan antar fungsi dan antar lembaga-lembaga negara atau organ-organ
negara dan
cabang-cabang kakusaan semacam itu sepenuhnya termasuk ke dalam rezim aturan
Hukum Tata Negara (constitutional law). Organ-organ
organisasi negara itulah yang dinamakan sebagai Organisasi Negara atau ORNEG. Mekanisme hubungan antar
kelembagaan ORNEG menyangkut
prosedur
‘rule of law’ yang garis besar normanya
tertuang dalam rumusan UUD 1945. Karena itu, materi utama setiap konstitusi
modern selalu memuat aturan-aturan konstitusional mengenai hal-hal pokok yang
menyangkut struktur organisasi kekuasaan negara. [ Rahman Yasin]