Gorontalo,
DKPP – “Saya sendiri sangat menaruh perhatian mengenai
pentingnya sistem etika berbangsa dan bernegara ini untuk kita kembangkan di
Indonesia yang mayoritas warganya sangat mengidealkan kehidupan yang berakhlak
mulia,†tutur Ketua
DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie, saat menjadi narasumber pada
kegiatan Silaknas dan Milad ICMI ke-24, di Hotel Maqna, Gorontalo, Sabtu
(6/12/2014).
“Sejak tahun 1990-an, terutama setelah saya mendapat
kesempatan berkunjung ke “Ethics Commission†Senat Amerika Serikat dan
berkenalan dengan sistem infra-struktur etika pemerintahan (Ethics in Public
Offices) di Amerika Serikat, saya pun ikut aktif mempromosikan pengembangan
sistem etika ini di Indonesia, termasuk melalui ide pembentukan Badan
Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Yudisial di Indonesia, dan
sekarang melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP),â€
lanjut dia.
Ketua Dewan Penasehat ICMI
ini menjelaskan,
di Amerika Serikat sendiri, sarjana yang menaruh perhatian serius mengenai
soal etika konstitusi tersebut di atas barulah Prof. Keith E. Whittington yang
menulis artikel pendek pada tahun 2000 dengan judul “On the Need for a
Theory of Constitutional Ethics.â€.
Menurut Prof. Jimly, praktik
kehidupan bernegara pada prinsip-prinsip fundamental dalam nilai-nilai
Pancasila tercermin dari adanya suatu pemahaman dan penalaran intelektual
setiap pejabat negara untuk menerapkannya. Prinsip-prinsip Pancasila tercermin
dalam lima dasar Sila Pancasila itu sendiri yang kemudian dikembangkan secara
nalar intelektual pada tataran praktik yakni: Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
yang mengidealkan semua anak bangsa ber-Tuhan Yang Maha Esa dan beragama agar
perilakunya masing-masing dapat tumbuh dan berkualitas dalam bimbingan
keberagamaan yang fungsional dan membekas dalam perilaku sehari-hari dalam
kehidupan bersama; Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab yang menggambarkan
dan sekaligus mendorong agar semua orang saling memanusiakan antar sesama
secara adil dan beradab; Prinsip Persatuan Indonesia yang didasarkan atas
kesadaran akan realitas keanekaragaman dalam peri kehidupan bersama dan yang
didalamnya mengajarkan kita untuk senantiasa hidup rukun, toleran, saling
menjaga, dan saling memperkuat satu sama lainâ€.
Lebih lanjut mantan Ketua MK pertama
(2003-2008) ini menjelaskan, Sila Keempat memuat prinsip kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang
didalamnya baik secara eksplisit maupun implisit mengajarkan kita untuk
bersikap terbuka, yang mengakui keberadaan setiap warga sebagai penentu utama
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan mengedepankan semangat musyawarah
untuk mufakat dalam menyelesaikan semua urusan semata-mata untuk kepentingan
bersama, sehingga jarak antara orang yang berkuasa dengan rakyat biasa dapat
terasa dekat; dan Prinsip Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang
mengidealkan sikap jujur, membela kebenaran dan keadilan, sikap saling tolong
menolong, bahu-membahu yang memunculkan sikap gotong royong antar sesama,
sehingga keadilan dapat terwujud dalam struktur kehidupan bersama, dimana jarak
antara yang kaya dan miskin tidak terlalu terlalu jauh dan timpang.
“Karena itu, upaya menggali
nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila untuk menjadi manifestasi
sosial dalam kehidupan benegara, haruslah terus dilakukan oleh para ahli dan
para pemimpin bangsa dan pejabat penyelenggara negara. Pancasila sebagai dasar filosofi berbangsa
dan bernegara telah terpatri dengan kokoh dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai
hasil kesepakatan pertama para pendiri bangsa dan negara. Dengan tidak
diubahnya Pembukaan UUD 1945 dan bahkan dengan Perubahan Ke-IV UUD 1945 terjadi
penguatan terhadap kedudukan Pancasila itu sebagai substansi yang tidak dapat
diubah menurut prosedur Pasal 37 UU 1945, maka tidak berubah pula kedudukan
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bahkan, oleh Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 juga ditegaskan lagi bahwa
“Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahanâ€, urai Jimly.
“Yang berubah dan dapat terus berubah hanyalah sistem
norma dan sistem kelembagaan (institusi) untuk mewujudkan cita-cita bersama
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila
sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang
demokratis dan bersentuhan dengan dinamika perkembangan masyarakatâ€.
“Sedangkan
rumusan kelima sila Pancasila sebagai dasar negara dan bahkan rumusan naskah
Pembukaan UUD 1945 sebagai keseluruhan sudah bersifat final dan mengikat serta
secara konstitusional tidak dapat lagi diubah menurut ketentuan Pasal 37 UUD
1945. Perubahan formulasi kelima sila Pancasila beserta tata urutan
penomerannya, serta perubahan keseluruhan redaksi naskah Pembukaan UUD 1945 itu
terakhir kali terjadi dengan disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945
dalam rapat pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal
18 Agustus 1945, yang dipimpin oleh Proklamator dan Ko-Proklamator Soekarno dan
Mohammad Hatta yang kemudian dipilih dan disahkan menjadi Presiden dan Wakil
Presiden pertama Republik Indonesia merdeka,†tambah Guru Besar Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia ini.
Lebih lanjut Jimly menjelaskan bahwa rumusan Pancasila
yang awalnya berasal dari hasil renungan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945
dalam konteks sejarah intelektual Pancasila (the
intellectual history of Pancasila) yang disebut olehnya sebagai Philosofische grondslag atau Weltanschauung tidak dapat diubah.
Bahkan keseluruhan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 itu yang secara historis berasal dari naskah awalnya, yaitu
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai kenyataan politik dalam politik Pancasila (the political history of Pancasila),
yang kemudian berubah menjadi naskah resmi Pembukaan UUD 1945 yang disahkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus
1945 dalam konteks sejarah konstitusional yang resmi berlaku. (ry/dw)