Makassar, DKPP – Ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof.
Jimly
Asshiddiqie, menjadi narasumber pada kegiatan Workshop Implementasi Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim Dalam Perspektif Hukum Acara Perdata, yang
diselenggarakan atas kerjasama Konrad Adenauer Stiftung dengan Komisi Yudisial
dan Jimly School Jakarta, di Hotel Grand Sahid Makassar pada Hari Kamis
(27/11/2014).
Dalam
pemaparan materinya, mantan Ketua MK (2003-2008) ini menjelaskan bahwa gejala pembentukan komisi-komisi atau institusi-institusi penegak kode
etik ini, baik yang bersifat permanen ataupun yang bersifat adhoc mencerminkan makin berkembangnya
kesadaran umat manusia mengenai pentingnya sistem etika profesional itu
ditegakkan secara efektif.
Hal inilah yang mendorong United Nations Organization atau PBB menetapkan
secara resmi rekomendasi Sidang Umum (General Assembly) pada tahun
1996, yang menganjurkan agar semua negara anggota PBB membangun apa yang
disebut infra-struktur etik untuk jabatan-jabatan publik (ethics
infra-structure in public offices).
Hal ini tentu sangat berpengaruh ke seluruh dunia,
sehingga semua negara–dewasa ini–terus mengadakan upaya pembentukan kode etik
di pelbagai bidang dengan didukung oleh institusi-institusi penegakannya dalam
praktik. Dengan demikian, sistem kode etik yang sudah dikenal sejak awal abad
ke-19 sampai akhir abad ke-20, mengalami revitalisasi lebih lanjut dengan
dukungan kelembagaan yang memungkinkan sistem etika benar-benar diterapkan
secara fungsional dan ditegakkan secara efektif.
Menurutnya, pada perkembangan mutakhir di hampir
semua negara di dunia, fungsionalisasi sistem kode etika profesi dan etika
jabatan publik ini belum dikonstruksikan sebagai suatu proses peradilan (norma
etika) seperti yang dikenal dalam sistem norma hukum yang dilengkapi dengan
mekanisme peradilan yang efektif.
“Itu sebabnya, mekanisme penegakan kode etik yang dimaksud, dimana-mana di seluruh
dunia, masih bersifat sangat tertutup sesuai dengan karakteristik pengertian
etika itu sendiri yang masih dipahami sebagai sistem norma yang bersifat
privat, sebagai norma yang pemberlakuannya didasarkan atas kesadaran internal
yang bersifat sukarela (volutair).
Karena itu, keberlakuan norma etika (ethical norms) biasa dibedakan
dengan norma hukum (legal norms) dari segi daya paksanya, yaitu jika
hukum dianggap ‘imposed from without’, maka keberlakuan etika dipandang
bersifat ‘imposed from within’ atau dari dalam kesadaran para subjek
yang secara sukarela mengikatkan diri padanya,†terang dia.
Namun, menurut mantan ketua DK KPU ini, bahwa dengan
perkembangan sistem kode etika dan kode perilaku yang diberlakukan secara resmi
sejak abad ke-19 dan ke-20, dapat dikatakan bahwa pemberlakuannya di samping
mengandung unsur yang bersifat ‘imposed from within’ juga sekaligus
memuat hal-hal yang dipaksakan oleh kekuasaan resmi negara atau ‘imposed
from without’. Di Amerika Serikat, sejak tahun 1907, ketentuan etika
profesi akuntan sudah dimuat dalam Anggaran Dasar atau ‘Bylaws’ organisasi AAPA
yang berlaku mengikat bagi semua anggota. Bahkan di Irlandia sekarang juga
sudah ada undang-undang resmi yang mengatur hal ini, yaitu dengan Ethics in
Public Offices Act 1995, yang mekanisme penegakan kode etika dapat
dipaksakan dengan dukungan kekuasaan negara.
“Sekarang sudah saatnya bagi para sarjana hukum
untuk mengembangkan pemikiran dengan serius agar sistem etika ini dapat menjadi
alternatif baru dalam upaya melengkapi dan menopang bekerjanya sistem hukum
yang dipraktikkan selama ini dalam upaya mengontrol dan membimbing serta
mengarahkan perilaku ideal manusia dalam kehidupan bersama,†lanjut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia
ini.
“Sistem norma etika ini lebih lanjut perlu
dikembangkan dengan dukungan mekanisme peradilan menurut prinsip-prinsip
peradilan modern yang diharuskan bersifat independen, terbuka, imparsial,
berintegritas, dan profesional, dan sebagainya. Dengan demikian, di samping
adanya pengertian mengenai ‘rule of law’, sudah saatnya kita
mengembangkan pula pengertian baru, yaitu ‘rule of ethics’. ‘Rule of law’ mencakup
pengertian adanya ‘code of law’ dan ‘court of law’, sedangkan
dalam konsepsi ‘rule of ethics’ harus tercakup pula pengertian adanya ‘code
of ethics’ and ‘court of ethics,†demikian mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik
Indonesia Bidang Hukum dan Ketatanegaraan mengakhiri paparannya. (ry).