Jambi,
DKPP – Provinsi Jambi adalah salah satu provinsi yang akan
menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Desember 2015. Sesuai
data KPU Jambi, di provinsi ini akan ada enam Pilkada, yakni satu Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur serta lima Pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, terdiri atas Provinsi Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung
Jabung Timur, Batanghari, Muara Bungo, dan Kota Sungai Penuh.
Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara
Pemilu memiliki perhatian serius terhadap pelaksanaan Pilkada serentak. DKPP
ingin memastikan bahwa penyelenggaraan Pilkada serentak dapat berjalan sesuai aturan hukum dan
aturan etika, sehingga terwujud sebuah Pilkada yang berintegritas.
Atas dasar itulah
DKPP menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Kode Etik Penyelenggara Pemilu Tahun
2015. Sosialisasi diadakan dengan menggandeng sembilan universitas negeri di
Indonesia, salah satunya adalah Universitas Jambi, Selasa (12/5).
Dalam kuliah umum bertema
Etika Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Ketua DKPP Prof. Jimly
Asshidiqqie menyampaikan bahwa masalah di jaman pasca modern
dewasa ini adalah kenyataan hidup menunjukkan di mana-mana di seluruh dunia
pemikiran dan praktik keberagamaan mengalami perkembangannya sendiri yang
membuat pemahaman konvensional tentang pola-pola dan dimensi hubungan antara
agama dan negara, serta hubungan antara norma-norma agama, etika, dan
hukum juga mengalami perubahan yang sama
sekali berbeda dari masa-masa sebelumnya. Agama, etika, dan hukum tentu harus
dibedakan dan tidak boleh dipahami secara tumpang tindih dan campur-aduk.
Tetapi untuk memisahkan ketiganya secara kaku juga terbukti tidak tepat.
“Sekarang sudah banyak ahli yang membedakan antara pengertian negara dengan
‘publik’, antara lembaga negara dengan lembaga publik, antara kepentingan
negara dengan kepentingan publik sebagai hal-hal yang mesti dibedakan,†papar
Jimly
Guru
Besar Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia ini lebih lanjut menjelaskan bahwa praktik-praktik hidup
beretika yang sebagian besar dikembangkan dari nilai-nilai keagamaan yang
diyakini masyarakat dan temuan-temuan ilmiah tentang kemuliaan hidup yang
diidealkan dalam kehidupan bersama masyarakat juga semakin berkembang dan
diidealkan di mana-mana diseluruh dunia. Semua ini membuat orang mulai kembali
menyadari penting mengadakan penyesuaian dengan melihat pola hubungan baru
antara sistem norma agama, norma etika, dan norma hukum.
“Dalam pola hubungan pertama ini, yaitu hubungan ‘luar-dalam’ dapat
diibaratkan laksana nasi bungkus. Hukum adalah bungkusnya, sedangkan nasi
beserta lauk pauk yang ada di dalamnya adalah etika, tetapi segala zat protein,
vitamin, dan sebagainya yang terkandung di dalam makanan berbungkus adalah intinya,
yaitu agama. Ini dapat disebut sebagai pola hubungan pertama. Hukum adalah
jasad, tubuh, atau struktur. Sedangkan rohnya, jiwanya, isinya adalah etika.
Tetapi roh itu pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan, dan karena itu inti
dari segala esensinya adalah norma agama,†jelas dia.
“Dalam pola hubungan kedua antara ketiga sistem norma adalah hubungan
luas-sempit. Etika lebih luas daripada hukum yang lebih sempit. Karena itu,
setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika,
tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika itu
lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem
hukum. Jika etika diibaratkan sebagai samudera, maka kapalnya adalah hukum. Itu
sebabnya Ketua Mahkamah Agung Earl Warren (1953–1969) pernah menyatakan, “Law floats in a sea of ethicsâ€, hukum mengapung
di atas samudera etika,†tambahnya.
Menurut Prof. Jimly hukum tidak mungkin tegak dengan keadilan, jika air
samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi dengan baik. Karena itu,
untuk mengharapkan hukum dan keadilan tegak, kita harus membangun masyarakat
yang beretika dengan baik, dan masyarakat yang beretika atau ber-‘akhlaqulkarimah’ itulah cermin dari
masyarakat yang sungguh-sungguh menjalankan ajaran-ajaran agama yang
diyakininya. Masyarakat yang beragama dengan baik itu adalah masyarakat yang
perilakunya dalam kehidupan bersama sesuai dengan standar-standar etika dan
perilaku yang diidealkan dalam kehidupan bersama. Jelas mantan anggota
Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia Bidang Hukum dan Ketatanegaraan pada era pemerintahan SBY periode kedua
ini.
Hadir
dalam kegiatan Sosialisasi DKPP ini Wakil Gubernur Provinsi Jambi, H. Fachrori Umar, Ketua DPRD Provinsi Jambi
Cornelis Buston, Ketua DPR Kota Jambi, M. Nasir, Walikota Jambi H. Syarif Pasha,
Ormas OKP BEM se- Provinsi Jambi serta media massa.
[Rahman Yasin]
Editor: Dio