Gorontalo,
DKPP – Ketua
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Jimly Asshiddiqie memaparkan materi saat menjadi
narasumber dalam kegiatan Diskusi Interaktif yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Negeri Gorontalo di ruang
Gedung Serba Guna Universitas Negeri Gorontalo, Sabtu (6/12/2014).
Hadir dalam
kegiatan Diskusi Interaktif tersebut antara lain Rektor Universitas Negeri
Gorontalo, Dekan Fakultas Hukum Mohamad Rusdiayanto Puluhulawa, dan Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Sasrowantu serta sejumlah dosen seperti
Zamroni Abdussamad, Weni Dungga, Ismail Tomu, Suwitno Imran, Lisnawati Badu,
Dian Ekawati, Nirwan Yunus dan segenap civitas akademika Universitas Negeri
Gorontalo. Diskusi Interaktif tersebut mengangkaat tema mengenai Penegakkan
Hukum Dalam Perspektif Etika dan Moral Menuju Keadilan yang Hakiki.
Menurut
mantan ketua Mahkamah Konstitusi pertama (2003-2008) masalah penting yang
sering kurang dipahami dengan baik atau kurang mendapat perhatian dalam
perkembangan modern mengenai sistem peradilan adalah perspektif tentang
keadilan restoratif (restorative justice).
Pada
umumnya, proses peradilan konvensional selalu dipahami dalam konteks paradigma
keadilan retributif (retributive justice). Yang diutamakan dalam proses
peradilan adalah sistem sanksi hukum yang bersifat menghukum, membalas dendam,
melampiaskan sakit hati, atau menyalurkan kemarahan, baik korban dalam arti
sempit ataupun korban dalam arti luas, yaitu masyarakat pada umumnya yang tidak
puas, dan bahkan benci dan marah kepada penjahat yang telah melawan hukum dan
merugikan masyarakat.
Dalam hukum
pidana, tersedia sistem sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana denda, dan
sebagainya. Sedangkan dalam sistem peradilan etika diadakan sanksi teguran dan
sanksi pemberhentian dari jabatan publik. Semua bentuk sanksi hukum maupun
etika tersebut bersifat pembalasan dengan cara menghukum dan melampiaskan
amarah.
“Namun dewasa ini, teori pembalasan ini
mendapatkan perlawanan yang semakin kuat dan kritis di kalangan para ahli,
seiring makin berkembang-luasnya kesadaran baru mengenai standar-standar
kemanusiaan global. Hukuman atau pidana mati semakin dipersoalkan dalam teori
dan praktik, dan demikian pula sanksi penjara dipandang makin lama makin tidak
efektif dalam mengendalikan kecenderungan perilaku menyimpang (deviant
behaviors) dalam kehidupan masyarakat modern,†papar Jimly.
Lebih lanjut Pakar Hukum Tata Negara ini menguraikan,
di
bidang pemberantasan korupsi, misalnya, semakin luas aspirasi mengenai
pentingnya pengenaan sanksi perampasan harta kekayaan dengan menggunakan sistem
pembuktian terbalik. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
harus dirampas seluruh harta kekayaan yang dimilikinya, kecuali ia mampu
membuktikan bahwa bagian-bagian mana dari harta kekayaan yang dimilikinya itu
yang diperoleh dengan cara yang memang sah menurut hukum.
“Sistem
sanksi yang demikian ini dianggap lebih bersifat memulihkan kerugian negara
daripada sekedar melampiskan balasan sanksi penjara ataupun pidana mati bagi
penjahat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Dengan sistem
sanksi perampasan harta tersebut, kepentingan kerugian kekayaan negara dapat
dipulihkan sebagaimana mestinya, bukan sekedar melampiskan kemarahan kepada
korupsi dan kepada koruptor,†terang mantan ketua DK KPU ini. [ry]