Jakarta, DKPP- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
mulai Selasa-Kamis (13-15/12) mengadakan kegiatan akhir tahun dengan tema “DKPP
Outlook 2017: Refleksi dan Proyeksiâ€. Acara dibuka secara resmi oleh Ketua DKPP
Prof Jimly Asshiddiqie, didahului dengan kegiatan Evaluasi Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Selasa malam di Hotel Arya Duta, Tugu Tani, Jakarta.
Prof Jimly didampingi oleh empat Anggota yakni
Prof Anna Erliyana, Dr Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, dan Ida
Budhiati. Hadir juga Sekretaris Jenderal Bawaslu/DKPP Gunawan Suswantoro. Acara
pembukaan ini sengaja dimanfaatkan untuk mengevaluasi kinerja DKPP selama 2016
khususnya dan kinerja empat tahun pada umumnya.
Peserta pembukaan bersifat terbatas, diikuti oleh
para anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP dari 34 provinsi. Para Anggota TPD
merupakan majelis di daerah yang membantu DKPP menyidangkan perkara di daerah.
Jumlah mereka tiap daerah ada empat dengan Komposisi mereka satu dari KPU
Provinsi, satu dari Bawaslu Provinsi, dan dua dari tokoh masyarakat/akademisi
setempat.
Kepada mereka, Prof Jimly mengucapkan banyak
terima kasih karena telah turut membantu DKPP dalam menangani perkara etik
serta menjaga kehormatan institusi KPU dan Bawaslu. Prof Jimly juga meminta
kepada TPD untuk berbagi pengalaman mereka selama menjadi majelis DKPP dan
memberikan masukan-masukan untuk kerja ke depan.
“Saya rasa banyak pengalaman kita selama empat
tahun ini. Pasti ada plus minusnya. Ada TPD yang rajin sekali dan ada juga yang
tidak rajin sekali,†ujar Prof Jimly.
Para TPD pada dasarnya cara kerjanya mirip dengan
hakim. Untuk itu, Prof Jimly meminta mereka sungguh-sungguh bekerja dan
memegang prinsip layaknya hakim. Seorang hakim, menurutnya, cara kerjanya harus
pasif. Hakim bekerja untuk mengungkap fakta. Di luar itu tidak boleh bertindak
aktif dengan membuat pernyataan atas perkara yang ditangani kepada publik.
“Karena ini menyangkut nasib orang.
Jangan sampai ada TPD yang tiap hari membuat statemen di media. Menjadi
pengamat dan bahkan menganalisis apa yang akan terjadi. Common sense saja hakim
kan harus pasif tidak boleh berbicara soal yang di dalam,†tutur Guru Besar
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. (Arif Syarwani)