Bandar Lampung,
DKPP –
Jika melihat data perkara di DKPP,
pengaduan dari Lampung cukup banyak.
Sejak DKPP berdiri pada Juni 2012 hingga Agustus 2015, DKPP telah
menerima sebanyak 36 pengaduan dari wilayah Lampung. Namun, dari 36 (tiga puluh
enam) pengaduan tersebut, sebanyak 25 (dua puluh lima) pengaduan dinilai tidak
memenuhi syarat sehingga tidak layak disidangkan. Sedangkan yang masuk sidang
ada 11 (sebelas) pengaduan.
Hasil sidang DKPP terhadap 11 (sebelas)
perkara memutuskan, sebanyak 25 (dua puluh lima) Teradu dinilai terbukti
melanggar kode etik dengan sanksi yang berbeda. Yang dinilai pelanggarannya
tidak terlalu berat dijatuhi sanksi peringatan tertulis, sejumlah satu orang.
Sedangkan kepada Teradu yang pelanggarannya dinilai berat, DKPP menjatuhkan
sanksi pemberhentian tetap, sebanyak lima orang. Sementara itu, yang tidak
terbukti melakukan pelanggaran sebanyak 19 (sembilan belas) orang dan DKPP
merehabilitasi nama baik mereka ditambah 4 ketetapan DKPP.
“DKPP yang merupakan quasi judicial
dalam lingkup kekuasaan kehakiman memiliki peran menegakkan kode etik
penyeleggara pemilu. Model persidangan kode etik yang bersifat terbuka ini sangat efektif menimbulkan efek jera dan mengurangi jumlah penyelenggara yang diadukan ke pengadilan umum maupun ke
pengadilan tipikor. Peserta pemilu puas dengan mengadukan ke DKPP atau dalam
kasus lain peserta pemilu menggadukan ke semua lembaga peradilan termasuk
PTUN,†terang Endang.
“Sidang kode
etik bersifat terbuka untuk umum ini dimaknai
bahwa seluruh
institusi yang dibiayai oleh uang negara, maka ada hak publik untuk mengetahui
seluruh proses yang terjadi di institusi tersebut,†dalam kasus tertentu sidang dapat digelar secara tertutup, lanjut dia
lagi.
Kemudian Endang memaparkan 13 modus-modus pelanggaran kode etik
penyelenggara Pemilu terdiri atas:
1. Vote Manipulation, Mengurangi,
menambahkan, atau memindahkan perolehan suara dari satu peserta Pemilu ke
peserta Pemilu lainnya, perbuatan mana menguntungkan dan/atau merugikan peserta
Pemilu satu dengan lainnya.
2. Bribery of Officials, pemberian
sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus kepada penyelenggara Pemilu
dengan maksud memenuhi kepentingan pemberinya atau untuk menguntungkan dan/atau
merugikan pihak lain dalam kepersertaan suatu Pemilu (candicacy).
3. Un-Equal Treatment, perlakuan
yang tidak sama atau berat sebelah kepada peserta Pemilu dan pemangku
kepentingan lain.
4. Infringements of the right to vote, pelanggaran terhadap hak memilih warga negara dalam Pemilu.
5. Vote and Duty Secrecy, secara
terbuka memberitahukan pilihan politiknya dan menanyakan pilihan politiknya
dalam Pemilu kepada orang atau pemilih lain.
6. Abuse of Power, memanfaatkan
posisi jabatan dan pengaruh-pengaruhnya, baik atas dasar kekeluargaan,
kekerabatan, otoritas tradisional atau pekerjaan, untuk mempengaruhi pemilih
lain atau penyelenggara Pemilu demi mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi.
7. Conflict of Interest, benturan
kepentingan.
8. Sloppy Work of Election Process, ketidakcermatan atau ketidaktepatan atau
ketidakteraturan atau kesalahan dalam proses Pemilu.
9. Intimidation and Violence, melakukan tindakan kekerasan atau intimidasi secara
fisik maupun mental.
10.
Broken or Breaking of the Laws, melakukan tindakan atau terlibat dalam pelanggaran
hukum.
11.
Absence of Effective Legal Remedies, kesalahan yang dapat ditoleransi secara manusiawi
sejauh tidak berakibat rusaknya integritas penyelenggaraan Pemilu, juga
hancurnya independensi dan kredibilitas penyelenggara Pemilu.
12.
The Fraud of Voting Day, kesalahan-kesalahan yang
dilakukan penyelenggara Pemilu pada hari pemungutan dan penghitungan suara.
13.
Destroying Neutrality, Impartiality, and Independent atau menghancurkan/menganggu/mempengaruhi netralitas, imparsialitas dan kemandirian
“Etika memiliki peran yang penting untuk mencegah
segenap potensi praktik-praktik
penyimpangan dalam penyelenggaraan pemilu. Peran signifikan dari
DKPP dalam rangka penegakan kode etik penyelenggara pemilu, dapat menjadi
jawaban atas dinamika kehidupan yang berkembang sangat maju dalam berbangsa dan
bernegara di era yang modern,†tutup perempuan
yang juga aktif di Lembaga Konsultasi Bantuan
Hukum untuk Wanita dan Keluarga Daerah Istimewa Yogyakarta ini. [Diah Widyawati_4]