Mataram, DKPP- Penegakan kode etik penyelanggara Pemilu yang
dijalankan oleh Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) memiliki
konsekuensi tersendiri. Dengan penegakan kode etik, secara tidak langsung akan
menempatkan para penyelenggara Pemilu sebagai objeknya.
“Kode etik penyelenggara Pemilu itu di satu sisi dapat
menjadi pedoman bagi penyelenggara. Juga dapat menyelamatkan Saudara dari moral hazard. Akan tetapi, penegakan
kode etik juga punya konsekuensi. Seluruh penyelenggara Pemilu adalah
calon-calon korban (candidate of victim) dari
penegakan itu,†demikian ujar Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini, saat menjadi
narasumber dalam acara bimbingan teknis (Bimtek) jajaran KPU dan Bawaslu di
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (29/4/2015).
Nur Hidayat Sardini atau akrab disapa NHS menegaskan
agar mereka betul-betul menaati kode etik. NHS memahami, tugas penyelenggara
Pemilu itu memang sangat berat. Akan tetapi, kalau mau selamat memang kode etik
harus dipedomani.
“Ruang lingkup kode etik itu berlaku 24 jam. Bukan hanya pas di kantor
saja. Ketika tidur pun, Saudara masih terikat,†tutur dia.
Salah satu yang ditekankan oleh NHS dalam paparannya adalah soal
netralitas. Seperti lazimnya, hampir seluruh peserta Pemilu pasti akan berusaha
mendekati penyelenggara Pemilu. Menurut Ketua Bawaslu RI periode 2008 – 2011
ini, penyelenggara Pemilu harus pandai bersikap.
“Tidak cukup netral saja, tapi juga harus terlihat netral kepada peserta
Pemilu. Senyum pun dapat dinilai sebagai memihak kalau tidak dalam waktu dan
tempatnya. Oleh karena itu, kalau kondisinya sedang panas, jauhi semua. Tapi
kalau kondisinya sudah baik-baik, dekati semuanya,†kata dia. (Arif
Syarwani)
Editor: Dio