Kendari, DKPP
– Penyelenggara Pemilu tidak hanya harus peka terhadap hukum (sense of
regulation), tetapi juga harus memiliki kepekaan terhadap etika (sense
of ethics). Bicara etika, standar nilai yang sangat tinggi. Jauh di atas
hukum.
Demikian disampaikan oleh Anggota DKPP
Prof. Muhammad saat menjadi narasumber pada acara Rakernis Penanganan
Pelanggaran Pemilu Tahun 2019 dengan tema “Peningkatan Kapasitas Anggota
Bawaslu Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara†di Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara, pada Jumat (14/9/ 2018). Prof Muhammad menyampaikan materi dengan
tema “Strategi dan Langkah Pencegahan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara
Pemiluâ€.
Peserta terdiri dari semua Anggota dan Sekretariat
Bawaslu Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam menyampaikan
materinya Prof. Muhammad, hadir Hamirudin Uddu (ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi
Tenggara) dan Rapiudin (Kepala Sekretariat Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara).
Prof Muhammad menjelaskan, Kode Etik
Penyelenggara Pemilu merupakan suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi
yang menjadi pedoman perilaku bagi Penyelenggara Pemilu berupa kewajiban atau
larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh
Penyelenggara Pemilu.
“Seorang penyelenggara Pemilu harus
paham terhadap peraturan-peraturan Pemilu. Namun yang jauh lebih penting adalah
terkait etika. Tidak semua diatur dalam hukum. Secara hukum bisa saja benar
akan tetapi tapi tidak patut,†paparnya.
Ia mengharapkan penyelenggara Pemilu
agar dapat membaca dan memahami peraturan-peraturan DKPP, karena hal tersebut
menjadi pegangan pencegahan bagi penyelengara pemilu dalam melaksanakan
tugasnya, agar terhindar dari laporan pengaduan dari peserta Pemilu maupun
penyelenggara pemilu lainnya. “Beberapa jenis laporan yangg biasa dilaporkan ke
DKPP: Pertama, tatakelola pemilu yang lemah. Kedua,
penyelenggara Pemilu tidak menindaklanjuti laporan. Ketiga,
cacatnya integritas penyelenggara Pemilu,†ungkap Ketua Bawaslu periode
2012-2017 itu.
Lanjut Guru Besar Ilmu Politik dari
Fisip Universitas Hasanudin itu, untuk mengukur etika tidaklah sulit. Karena
hati nurani yang menjadi tolak ukurnya. “Apakah sikap atau tindakan keputusan
itu membuat bimbang, maka sikap atau keputusan tersebut sebaiknya hindari sikap
atau keputusan tersebut. Karena bisa saja berpotensi melanggar kode etik.
Tetapi, bila sikap atau keputusan itu terasa mantap, dan pihak lain pun setuju,
maka lakukan terus,†katanya.
Prof. Muhammad meminta kepada
penyelenggara Pemilu untuk membangun dan menjaga etika diawali dari orang-per
orang atau internal penyelenggara Pemilu. Bila etika sudah terbangun di tingkat
interal, maka etika di tingkat lembaga akan mudah terbangun. Etika personal
adalah fondasi untuk membangun etika organisasi. “Agar etika itu harus dijaga
kualitasnya. Tidak hanya sebatas lisan melainkan dalam bentuk sikap atau
perbuatan. Karena seorang penyelenggara Pemilu memiliki tugas mulia, yaitu
menghasilkan kepala negara, kepala daerah, bahkan termasuk legislator, pembuat
undang-undang, yang berintegritas dan bermartabat,†pungkas pria asal Makasar
itu. [Dina_Teten]