Semarang,
DKPP – Dalam
sambutan acara Penandatanganan Nota Kesepahaman
Antara Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan Universitas
Diponegoro (Undip), Senin (25/5) di ruang Rektorat, Ketua DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie menjelaskan soal
urusan management demokratic election. Menurutnya suatu
hari akan ada pekerjaan besar yang namanya pengelola demokrasi, yang
membutuhkan ciri masyarakat tersendiri
Lebih
lanjut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI menjelaskan bahwa saat ini kita
berurusan dengan, pertama kekuasaan eksekutif. Para pejabat dipilih melalui
pemilu mulai dari presiden sampai kepala desa, malah sekarang melalui
undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) semua pejabat eselon 1 dan 2 harus
dilelang juga. Ini perburuan jabatan dan menjadi realitas politik. Ada yang
mekanisme pemilihannya tidak langsung dan ada yang mekanismenya langsung. Kedua,
pejabat di lingkungan legislatif mulai badan perwakilan desa, dewan kelurahan,
anggota DPRD, ini juga perlu dikelola sendiri di luar komunitas penyelenggara
pemilu.
“Cabang
kekuasaan eksekutif dan legislatif ini, para peserta pemilu, orang-orang yang
menurut mekanisme demokrasi modern diberi kesempatan berkompetisi memperebutkan
jabatan-jabatan publik. Sedangkan cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang
kekuasaan ketiga yang akan mengontrol, yang akan mengadili hasil pemilu maupun
proses pemilu. Maka tiga cabang kekuasaan ini harus terpisah ditambah dengan pengelola
demokrasi, pengelola pemilu. Para pejabat pengelola pemilu ini mulai dari
eksekutif KPU maupun kontroler pengawas yaitu Bawaslu harus berada di tempat
yang tersendiri,†tegas Prof. Jimly.
“Untuk
diketahui sekarang pemikiran seperti ini sudah berkembang di banyak negara
termasuk dalam konstitusi Equador sudah disebut sebagai The Electoral Branch Of Power suatu cabang kekuasaan sendiri di
luar eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Kita ini sedang mempersiapkan suatu sistem komunitas, sistem
kelembagaan yang berada di posisi ke empat maka kita harus dekat dengan
perguruan tinggi,†lanjut Dia.
“Ini
orang-orang yang akan memimpin cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif ini
adalah orang-orang yang bersedia berburu jabatan, kita memerlukan orang yang
mengelola mekanisme ini. Orang itu harus tidak jauh dari dunia moral dan dunia
intelektual supaya dia bisa mengambil jarak dengan realitas politiking mereka
yang akan duduk di lingkungan cabang-cabang kekuasaan eksekutif dan
legislatif,†seloroh Prof. Jimly.
Menurut
Prof. Jimly cabang kekuasaan yang keempat ini harus dekat dengan perguruan
tinggi karena itu mohon dipikirkan itu bagaimana mengelola sistem demokrasi kita
ke depan dengan struktur baru di mana orang-orang yang akan mengurusi pemilu
ini adalah orang-orang yang mengalami enlightment
dekat dengan dunia ilmu pengetahuan dan riset.
Ketua
DKPP meminta supaya Undip akrab dengan isu-isu kepemiluan dari semua segi,
misalnya para ahli ekonomi pemilu, ahli matematika pemilu karena sistem
penghitungan suara itu lain. Penyelenggaraan pemilu membutuhkan riset-riset di
bidang ekonomi pemilu, psikologi pemilu, antropologi pemilu dan ini memerlukan
data-data mengenai pengaruh etnisitas dalam political
patern, sosiologi pemilu, dan manajemen pemilu.
“Yang
paling penting adalah soal etika pemilu. Ini konsep dari DKPP. Kita bukan hanya
mau memastikan bahwa sistem demokrasi ini berkembang padahal masih ada kelompok
manusia yang anti terhadap demokrasi. Jadi tugas kita memastikan masyarakat
betul menikmati dan percaya bahwa sistem ini berintegritas, sistem demokrasi
ini layak dipercaya untuk mengangkat harkat peradapan di masa yang akan datang.
Hal ini memerlukan etika, demokrasi tidak cukup hanya sesuai dengan aturan
hukum tetapi juga aturan etik,†lanjutnya.
Pada
akhir sambutannya, DKPP menginginkan riset-riset diarahkan untuk masalah etika.
Etika pemilu khususnya nanti bisa diperluas jadi etika penyelenggara, etika
peserta dan etika kandidat supaya bisa punya kesempatan untuk mengembangkan
etika politik. Kalau etika politik ini berkembang baik secara teori dan praktek
maka etika kehidupan berbangsa ini akan berkembang juga.
“Jangan
biarkan bangsa ini hanya menggantungkan kepada mekanisme hukum. Tidak cukup
hanya mengandalkan hukum dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara harus
sudah mulai memikirkan pentingnya etika. Bukan hanya etika hukum tapi etika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,†pungkasnya. [Diah Widyawati]