Jakarta, DKPP– Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), terutama untuk perkara Jawa Timur dan Tangerang banyak menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Mereka menganggap DKPP melebihi kewenangannya karena dinilai masuk pada sengketa tahapan Pemilu, bukan lagi mengurusi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.
Yang terhangat adalah pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang menganggap putusan DKPP bisa mengacaukan proses Pemilu, sehingga berpendapat DKPP bisa saja dibubarkan.
Pernyataan miring soal DKPP tersebut justru dikritik oleh para pengamat yang juga penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepemiluan seperti Ray Rangkuti, Said Salahudin, dan Karyono Wibowo. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komunitas Jurnalis Peduli Pemilu di ruang Media Center Bawaslu, Jakarta, Jumat (16/8), mereka menganggap kontroversi itu hal yang biasa, tetapi untuk putusan DKPP seharusnya tidak terjadi.
Said Salahudin, misalnya, menganggap pro-kontra terhadap putusan DKPP tidak hanya terjadi akhir-akhir ini, tapi sudah ada sejak kemunculannya. Dulu ada kekhawatiran terkait keanggotaan DKPP, ditakutkan akan diisi oleh orang-orang yang salah. Kemudian soal penyusunan kode etik, kata Said, juga mengundang pro-kontra.
“Banyak yang khawatir kalau kode etik yang disusun itu akan mengancam mereka karena disusun oleh segelintir orang. Tapi hal itu akhirnya terbantahkan karena penyusunannya melibatkan masyarakat luas,” kata Said yang juga Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma).
Terkait putusan DKPP, Said berpendapat bahwa putusan DKPP saat sudah sangat konsisten. Awal-awal diakui memang putusannya belum konsisten, karena DKPP masih baru sehingga masih mencari bentuk. Said juga menilai maraknya pengaduan ke DKPP menjadi tanggung jawab KPU Pusat dan tidak berjalannya fungsi Bawaslu.
“Banyaknya sanksi yang dikenakan kepada anggota KPU saya kira ini tanggung jawab KPU pusat yang punya tugas supervisi. Sekarang orang yang tidak mendapat keadilan di Bawaslu, lari ke DKPP. Ini juga kegagalan Bawaslu memerankan fungsi penengah antara KPU dan pengadu. Bawaslu cenderung tidak mau head to head dengan KPU. Pengawas pemilu cenderung main politik, pertimbangannya menguntungkan atau tidak,” tambah Said.
Senada dengan Said, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menganggap pengawasan yang dilakukan Bawaslu sudah tidak efektif lagi. Akibatnya orang pada lari ke DKPP. Putusan DKPP yang terkesan mengintervensi penyelenggara Pemilu, yang kemudian dianggap banyak pakar melebihi kewenangan, kata Ray, sebenarnya belum apa-apa. Putusan DKPP dianggap masih kurang keras.
“Kalau dibandingkan, Bawaslu kita ini gak ada imajinasinya. Pelanggaran yang jelas-jelas di depan mata seringkali masih dicari-cari PKPU-nya. Sebaliknya KPU kita kebanyakan imajinasi tapi kurang kerja. Kebanyakan bikin peraturan tapi tidak dilaksanakan secara konsisten. DKPP gak banyak imajinasi tapi banyak kerjanya. Semua disikat, par par, par. Kita semua happy dengan tindakan DKPP,” tutur Ray.
Putusan DKPP, menurut Ray, tidak masalah walaupun terkesan melewati kewenangannya. Ini menjadi terobosan untuk masuk ke ruang substantif, bukan lagi soal formal-prosedural. “Dan seharusnya DKPP justru diberi kewenangan lebih untuk menangani masalah pelanggaran Pemilu,” tambah Ray.
Sementara itu, Karyono Wibowo yang juga peneliti senior Indonesia Public Institute (IPI) menilai putusan DKPP seharusnya ada tindak lanjutnya. Sanksi yang diterapkan oleh DKPP tidak boleh hanya berhenti pada sanksi etik.
“Harus ada peningkatan sanksi untuk mencegah pelanggaran kode etik. Kita harus mendorong agar ke depan pelanggaran oleh penyelenggara Pemilu juga dianggap sebagai pelanggaran pidana. Sehingga, nanti ada sanksi pidana pelanggaran pemilu,” terang Karyono. (AS)