Pandan,
DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Saut Hamonangan Sirait,
didaulat sebagai pemateri dalam Acara Focus Group Discussion (FGD) yang
mengusung tema “Penegakkan Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu Pada Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2017†di Pia Hotel, Kota Pandan, Kabupaten
Tapanuli Tengah, Minggu (14/8).
Pada
kesempatan itu, Saut menyatakan bahwa Pemilukada Serentak yang akan digelar
pada 15 Februari 2017 mendatang, terdiri dari 101 daerah, tujuh daerah
diantaranya merupakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Dan, di Kabupaten
Tapanuli Tengah ini merupakan kali ketiga perhelatan pemilihan kepala daerah secara
langsung yang dimulai sejak tahun 2005.
“Indonesia,
sebagai negara demokrasi, berdasarkan konstitusi bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat. Tampaknya satu-satunya pangejawantahan kedaulatan rakyat hanya
lewat pemilu. Demokrasi ditampakkan dengan apa yang disebut dengan persetujuan
rakyat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidupnya. Baik hajat hidup jangka
panjang, pendek, maupun sehari-hari,†ujar dia.
Hal
ini, lanjut Saut, yang menyebabkan Pemilu menjadi sangat penting. Meskipun sebagian
ada yang menganggap bahwa pemilu sebagai hal yang menjemukan, akan tetapi, tidak
ada Negara maju tanpa Pemilu. Uni Soviet, misalnya, akhirnya menjadi ada Rusia,
Ukrania, Serbia, dan lain sebagainya, kemajuan bangsanya telah nampak yang masing-masing
memiliki keunikan dengan proses yang tidak semua kita ketahui. Dan di Asia, hanya
RRC, Laos, dan Korea Utara yang masih tidak memakai mekanisme Pemilu. Meski
begitu, yang unik di Hongkong, yang merupakan bagian RRC, karakteristik perilaku
politiknya memiliki sistem demokratis.
“Substansinya
dengan negara kita, pada akhirnya nanti, setelah melewati tiga putaran Pemilihan
serentak, rakyat akan merasakan apa arti seorang warga negara yang memiliki hak
pilih,†ujarnya.
Berdasarkan
data dari KPK, lanjutnya, sekitar 300 orang dari 514 Kepala Daerah terjerat
kasus korupsi. Akan tetapi, ada sekitar 22 Kepala Daerah yang memiliki
penilaian yang tinggi, baik dari segi leadership, integritas maupun hal-hal lain.
Berkenaan dengan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya pemilu yang baik, belum tentu
menghasilkan pemimpin yang baik. Apalagi, jika pemilu yang tidak baik, sudah
pasti menghasilkan pemimpin yang tidak baik pula.
“Inilah
yang menjadikan seolah-olah para Penyelenggara Pemilu tidak mengemban suatu
proses yang sangat menentukan bagi bangsa Indonesia ke depan. Hal inilah yang seringkali
tidak kita miliki sebagai suatu nilai dasar dalam proses penyelenggaraan
pemilu. Semakin bagus pemilu, akan semakin terjamin proses-proses pembangunan yang
baik. 50 persen keberhasilan pemilu ada ditangan kita, dengan artian kita
memiliki kualitas luber dan jurdil ditambah 12 asas penyelenggaraan pemilu
tentunya,†tuturnya. [Nur Khotimah]