Nusa Dua, DKPP- Selama tiga hari ini, Selasa-Kamis (23-25/5),
DKPP menggelar acara diseminasi etika. Acara bertema “Diseminasi Hasil
Penelitian dan Kajian Etika Kerjasama DKPP dengan Perguruan Tinggi dan LIPIâ€
merupakan kerja sama DKPP dan tujuh lembaga tersebut.
Enam perguruan tinggi adalah Universitas Udayana (Unud) Bali,
Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Trisakti (Usakti) Jakarta,
Universitas Terbuka (UT), Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten.
Dalam sambutannya, Ketua DKPP menyebut bahwa Pemilu menjadi
niscaya dalam setiap negara yang menganut demokrasi. Pasalnya, inti dari
demokrasi adalah adanya pergiliran kekuasaan. Melalui Pemilu lah mekanisme
pergiliran itu dijalankan.
“Pemilu kita saat ini baru prosedural, hanya sesuai
benar-salah, bukan baik-buruk. Tidak semua hal yg benar itu baik,†terangnya.
Masalah baik dan buruk ini, menurutnya, menjadi wilayah
etika. Dalam praktik kepemiluan di Indonesia, penegakan kode etik baru berlaku
kepada penyelenggara Pemilu yang ditegakkan oleh DKPP. Namun begitu, kata Prof.
Jimly, penegakan etika kepada penyelenggara telah banyak mewarnai
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
“Sumbangan etika dalam pemilu untuk menambah kualitas dan
integritas penyelenggaraan Pemilu. Etika penyelenggara harus diatur,†ungkap
dia.
Pemilu berintegritas, tambahnya, tidak cukup hanya sesuai
rule of law dan hanya prosedural tapi juga memperhatikan substansi. Menurutnya,
tidak dapat hanya mengandalkan hukum dalam kehidupan negara ini tapi juga butuh
aturan etika.
“Kita sedang menghadapi pancaroba. Ada jargon supremasi
hukum, hukum sebagai panglima. Saya ragu apa benar itu. Yang mengendalikan
sekarang ini politik, modal. Ini tren baru, bagaimana mengendalikan peradaban
baru ini,†urai dia.
Lebih jauh, Prof. Jimly merasa optimistis, ke depan etika ini
akan menjadi perhatian serius dalam kehiddupan masyarakat.
Bahkan, akan menjadi
jurusan di perguruan tinggi dengan mengganti fakultas hukum menjadi fakultas
hukum dan etika.
“Awal abad 20 kode etik hanya proforma, tapi akhir abad 20
sudah fungsional. Makanya hukum dan etika akan berkolaborasi. Tidak semua agama
punya ajaran hukum, tapi semua agama punya ajaran etika,†terangnya. (Arif
Syarwani)