Benteng,
DKPP – Etika
atau moral sama halnya seperti akidah dalam ajaran Islam. Dimulai dari wajib,
sunnah, makruh, mubah, dan haram. Demikian diungkapkan oleh Anggota DKPP, Saut
Hamonangan Sirait, pada Bimtek Pembekalan PPK dan
Panwascam Pemilukada Kabupaten Bengkulu Tengah 2017, Sabtu (30/7).
“Kelima hal inilah yang
akan melahirkan pemilu berintegritas. Pemilu yang membuat suara rakyat sebagai mahkota,
tidak boleh dimanipulasi. One person, one
vote, and one value. Jika etika ini dianggap sebagai akidah, maka menjadi
wajib ada dalam setiap diri penyelenggara
dan tidak ada unsur paksaan,†kata Saut.
Berbeda dengan hukum,
etika lebih luas cakupannya. Jika hukum diumpamakan sebagai kapal, maka etika
sebagai samuderanya. Hukum berlayar diatas lautan etika. Jika menegakkan hukum
harus dipaksa, maka etika harus tertanam dari dalam diri masing-masing. Bisa
saja ada hal yang benar secara hukum, tapi belum tentu benar menurut etika.
“Pemilu yang baik belum
tentu menghasilkan pemimpin yang baik. Apalagi pemilu yang buruk, sudah pasti
menghasilkan pemimpin yang buruk. Jika
orang-orang menyebut tentang sistem, maka menurut saya, sistem baru bisa disebut
sistem yang berhasil jika memproduksi suasana. Kalau suasana sudah
terproduksi baru bisa disebut bagus,†tuturnya.
Menurut mantan
Anggota KPU 2010-2011 ini, pemilu baru dapat
dikatakan berhasil jika sudah menciptakan suasana yang kondusif sesuai peran
masing-masing. “Misalnya seorang peserta,
ya harus bertindak layaknya seorang peserta. Jangan sampai dalam rangka ingin
menang, dia mempengaruhi para penyelenggara. Begitupun dengan penyelenggara,
juga harus bertindak sebagai penyelenggara dan bisa menciptakan suasana. Jika
A, ya harus A, namun jika B, ya harus B. Jika hal ini sudah tercipta, maka
pihak lain tidak akan marah. Hal ini bisa terjadi jika sistem sudah berjalan.
Sehingga orang tidak hanya beranggapan bahwa penyelenggara pemilu terdiri dari
KPU beserta jajarannya dan atau Bawaslu beserta jajarannya disertai dengan uraian
tugas-tugasnya,†lanjut dia.
“Tapi, berjalannya suasana
diantara unit-unit itulah yang oleh Kofi Annan disebut Election With Integrity,
terpadu menyatu semuanya. Tidak akan bisa satu paduan atau satu kesatuan
jikalau kejujuran hilang. Nantinya, setelah tercipta Election With Integrity,
beranjak kemudian Democration With Integrity. Jadi, Pemilu yang beritegritas
dimulai oleh kejujuran penyelenggaranya,†kata dia lagi.
Selain
integritas penyelenggara,
peserta juga harus berintegritas. Kewenangan bagi Bawaslu ini bertambah. Jika dahulu hanya pengadilan
yang berwenang menggugurkan peserta, maka saat ini Bawaslu memiliki kewenangan untuk
menggugurkan peserta.
“Nanti lama-lama penyelenggara
pemilu yang berhak membubarkan partai. Kalau nanti sudah dibuat kriterianya dalam
peraturan perundang-undangan, sudah disetujui bahwa partai mesti didanai oleh
rakyat supaya parpol tidak akan menyuruh anggotanya untuk korupsi. Dengan
didanai oleh negara,
sehingga negara
bisa kontrol. Dan fungsi kontrol ini akan dipegang oleh penyelenggara pemilu,â€
tegasnya.
Misalnya, jika ada anggota parpol A yang
masih melakukan korupsi
dan kecurangan lainnya, apa ini bisa dibekukan,
maka pembekuannya misalnya dalam satu putaran pemilu, parpol A tidak
ikut pemilihan.
“Bayangkan misalnya partai
A satu kali pemilu tidak boleh ikut di Provinsi Bengkulu. Habislah dia. Mau
calonkan gubernur ga bisa, atau mencalonkan anggota dewan pun ga bisa. Lama-lama
hal ini akan muncul,†tutupnya. [Nur Khotimah]