Jakarta, DKPP- Salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) adalah keberadaan saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Hadirnya saksi dianggap dapat mengurangi kecurangan Pemilu. Akan tetapi, tidak semua partai politik (parpol) peserta Pemilu mampu merekrut saksi secara maksimal dengan alasan finansial.
Persoalan saksi tersebut mengemuka dalam diskusi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dengan parpol peserta Pemilu 2014 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (20/5). Diskusi dengan tema “Kerjasama dan Sosialisasi DKPP atas Penegakan Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu kepada Parpol Peserta Pemilu 2014” ini dipandu langsung oleh Ketua DKPP Prof Jimly Asshiddiqie. Hadir juga tiga anggota DKPP, yakni Saut Hamonangan Sirait, Ida Budhiati (ex officio KPU), dan Nelson Simanjuntak (ex officio Bawaslu). Sementara itu, dari 12 parpol peserta Pemilu 2014 ada 11 parpol yang hadir, yakni PDIP, Golkar, Demokrat, PPP, PKB, PKS, Hanura, Nasdem, PKPI, Gerindra, dan PBB. Hanya PAN yang tidak hadir.
Menurut Isa Muchsin dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), persoalan saksi ini memang cukup krusial. Apalagi bagi partai medioker (papan tengah) seperti PPP yang secara finansial tidak melimpah.
“Bagi partai kecil seperti kami ini, biasanya hanya mampu membayar saksi sampai tingkat TPS saja. Itu pun kadang SDM-nya juga pas-pasan. Sehingga seringkali suara kami menguap di tingkat selanjutnya. Kalau saksi dibiayai APBN, kami setuju-setuju saja, karena akan ada pemerataan,” ujar Isa.
Bruno KW, perwakilan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) juga sepakat dengan wacana alokasi dana APBN untuk saksi Pemilu. Menurutnya, perjalanan suara dari TPS ke tingkat selanjutnya sangat rentan dimanipulasi kalau tidak ada saksi yang mengawasinya.
“Ada lorong gelap dalam perjalanan suara yang sangat mungkin akan melahirkan kecurangan-kecurangan Pemilu,” kata Bruno.
Sementara itu, semua perwakilan parpol yang hadir pada prinsipnya setuju dengan wacana tadi. Mungkin pada tingkat teknis harus dibahas lagi. Prof Jimly Asshiddiqie mengusulkan agar saksi tersebut direkrut saja dari Petugas Pengawas Lapangan (PPL) Bawaslu. Jimly berpendapat, hal ini selain untuk memberdayakan PPL yang ada juga untuk penghematan anggaran.
“Daripada merekrut saksi baru lebih baik memfungsikan PPL yang sudah ada. Bisa juga dibuat mitra PPL. Selama ini, gaji PPL dihitung 10 bulan. Itu kelamaan. Idealnya 2-3 bulan saja,” tutur Jimly.
Namun begitu, ada juga yang mempertanyakan apakah ada jaminan bahwa PPL yang ditugaskan nanti independen. Menanggapi hal ini, Jimly mengusulkan agar ada kerja sama antara parpol dengan Bawaslu.
Dalam diskusi ini juga muncul pertanyaan-pertanyaan seputar pedoman beracara di DKPP. Masih banyak parpol yang belum tahu persoalan ini. Oleh karena itu, Jimly meminta kepada parpol untuk mengundang DKPP menjadi narasumber untuk menyosialisasikan pedoman beracara di DKPP. Untuk forumnya bisa digabung dengan acara yang sedang digelar parpol.
“Beri saja kami 1 atau 2 jam untuk menyosialisaikan pedoman beracara di DKPP. Dan kalau bisa, seharusnya dari parpol yang hadir dari tim hukumnya,” kata Jimly.
Selain itu, diskusi tersebut juga mengusulkan dibentuk forum komunikasi (liaison officer/LO) antara KPU, Bawaslu, DKPP, dan 12 parpol peserta Pemilu 2012. Fungsi forum LO untuk mendekatkan hubungan antara penyelenggara Pemilu dengan parpol peserta Pemilu tanpa mengurangi independensi penyelenggara Pemilu.
“Akan tetapi, model komunikasi yang dibangun forum ini harus bersifat formal. Tidak bisa komunikasinya informal,” jelas Anggota DKPP Ida Budhiati yang juga Komisioner KPU. [AS]