Gorontalo, DKPP – Sistem kaedah atau norma
yang menuntun dan mengendalikan perilaku ideal manusia dalam kehidupan bersama
dapat berupa norma-norma agama (religious
norms), norma etika (ethical norms),
dan/ataupun norma hukum (legal norms).
Ketiga sistem norma atau kaedah itu tumbuh alamiah dalam kenyataan hidup
manusia secara universal. Pada mulanya, ketiganya bersifat saling lengkap dan
melengkapi secara komplementer dan sinergis satu sama lain, tetapi dengan
perjalanan waktu dan perkembangan kompleksitas kehidupan dalam masyarakat,
timbul perbenturan di antar ketiga sistem norma itu dalam praktik. Hal ini
disampaikan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Prof. Jimly Asshiddiqie, ketika
memberikan Kuliah Umum di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Ichsan
Gorontalo, Jumat
(5/12/2014).
Pakar
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa gejala perbenturan antar
sistem norma itulah yang direspons secara berbeda-beda oleh aliran-aliran
pemikiran yang berkembang alam sejarah. Aliran positivisme Comte yang
berpengaruh besar dalam sejarah pemikiran hukum dalam sejarah dengan tegas
berusaha dan berhasil memisahkan sistem norma hukum dari pengaruh-pengaruh
sistem agama, dan bahkan dari sistem etika. Bahkan, dalam ‘Stuffenbau theorie des recht’ (Pure Theory of Law)-nya Hans
Kelsen, ditegaskan bahwa norma hukum harus dibersihkan atau dimurnikan dari
aneka pengaruh sosial, politik, ekonomi, dan apalagi dari pengaruh etika dan
agamaâ€.
Menurutnya,
dalam praktik nyata, terlihat kebanyakan sarjana hukum, doktrin supremasi hukum
(supremacy of law) benar-benar
dipahami secara mutlak. Pemerintahan yang tertinggi adalah hukum, ‘the rule of law, not of man’. Hukum
adalah panglima yang tertinggi, di atas segala-galanya. Penegak keadilan juga
adalah seorang Dewi yang tidak berperasaan dan bahkan matanya ditutup, sehingga
tidak dapat membeda-bedakan orang, dan tidak akan pernah memberikan tempat pada
pertimbangan-pertimbangan non-hukum, termasuk pertimbangan etika ataupun agama.
Pokoknya hukum sebagaimana yang dipahami oleh manusia adalah di atas
segala-galanya. Norma etika ataupun norma agama sekalipun harus tetap tunduk
kepada hukum, karena kedudukannya tidak di atas hukum melainkan berada di bawah
norma hukum. Sebaliknya, cara pandang demikian itulah yang tidak dapat diterima
oleh para agamawan dan para rohaniawan, yang tentu saja selalu akan menganggap
norma agamalah yang paling tinggi. Hukum tidak boleh bertentangan dengan etika,
dan etika juga tidak boleh bertentangan dengan keimanan yang bersifat mutlak
dalam beragama. Pendek kata, etika dan apalagi hukum duniawi mana boleh
bertentangan dengan agama.
Mantan anggota Dewan
Pertimbangan Presiden Republik Indonesia Bidang Hukum dan Ketatanegaraan ini juga mengingatkan bahwa masalah
sekarang di zaman pasca modern dewasa ini, kenyataan hidup menunjukkan
dimana-mana di seluruh dunia pemikiran dan praktik keberagamaan mengalami
perkembangannya sendiri yang membuat pemahaman konvensional tentang pola-pola
dan dimensi hubungan antara agama dan negara, serta hubungan antara norma-norma
agama, etika, dan hukum juga mengalami
perubahan yang sama sekali berbeda dari masa-masa sebelumnya. Agama, etika, dan
hukum tentu harus dibedakan dan tidak boleh dipahami secara tumpang tindih dan
campur-aduk.
“Tetapi
untuk memisahkan ketiganya secara kaku juga terbukti tidak tepat. Sekarang
sudah banyak ahli yang membedakan antara pengertian negara dengan ‘publik’,
antara lembaga negara dengan lembaga publik, antara kepentingan negara dengan
kepentingan publik sebagai hal-hal yang mesti dibedakan. Karena itu, pengertian
agama negara yang dipandang tidak relevan lagi di zaman sekarang, diganti
dengan wacana agama publik (public religion)
yang dapat dipahami pengaruhnya yang kuat dalam kehidupan publik meskipun bukan
agama negara. Bahkan jika dikaitkan dengan tesis-tesis Marxisme yang meniadakan
peran Tuhan, atau sekularisme ekstrim yang mengesampingkan peran Tuhan dalam
kehidupan bernegara, positivisme Comte yang meniadakan peran agama yang penuh
dengan mitos-mitos yang dianggap tidak dapat diandalkan untuk memberikan solusi
konkrit bagi kehidupan, atau aliran-aliran pemikiran filsafat lainnya, semua
tidak dapat menolak kenyataan muncul berkembangan pelbagai gejala spiritualisme
dalam bentuk-bentuk baru, kesadaran keagamaan yang terus meningkat dimana-mana,
dan bahkan semua pemeluk agama dewasa ini sedang dihinggapi
antusiasme-antusiasme baru dalam mempraktikkan kepercayaan agamanya masing-masing.†jelas dia.
“Di
pihak lain, praktik-praktik hidup beretika yang sebagian besar dikembangkan
dari nilai-nilai keagamaan yang diyakini masyarakat dan temuan-temuan ilmiah
tentang kemuliaan hidup yang diidealkan dalam kehidupan bersama masyarakat juga
semakin berkembang dan diidealkan dimana-mana diseluruh dunia. Semua ini
membuat orang mulai kembali menyadari penting mengadakan penyesuaian dengan
melihat pola hubungan baru antara sistem norma agama, norma etika, dan norma
hukum.
Maka
melalui pelbagai kesempatan saya selalu menawarkan perspektif baru bahwa
hubungan antara hukum dan etika bukan lagi bersifat vertikal atas-bawah.
Masalah kita bukanlah mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah antara
norma hukum itu dengan norma etika, dan agama. Hubungan yang tepat di antara
ketiganya justru bersifat ‘luar-dalam’, bukan ‘atas-bawah’. Dalam pola hubungan
pertama ini, yaitu hubungan ‘luar-dalam’ dapat diibaratkan laksana nasi
bungkus. Hukum itu adalah bungkusnya, sedangkan nasi beserta lauk pauk yang ada
di dalamnya adalah etika, tetapi segala zat protein, vitamin, dan sebagainya
yang terkandung di dalam makanan berbungkus itu adalah intinya, yaitu agama.
Ini dapat disebut sebagai pola hubungan pertama. Hukum adalah jasad, tubuh,
atau struktur. Sedangkan rohnya, jiwanya, isinya adalah etika. Tetapi roh itu
pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan, dan karena itu inti dari segala
esensinya adalah norma agama.†pungkas Ketua Dewan Penasehat ICMI
ini. (ry/dw)