Bogor, DKPP– Pertemuan pimpinan tiga lembaga penyelenggara Pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, pada Kamis (10/10) malam menghasilkan lima poin kesepakatan. Lima poin itu dihasilkan saat membahas Finalisasi Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP tentang Tata Laksana Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Kesepakatan pertama, seperti dibacakan oleh Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie adalah, ketiga lembaga sepakat untuk mengadakan pertemuan sewaktu-waktu jika memang dibutuhkan. Kedua, sepakat bahwa peraturan tata laksana akan segera dikonsultasikan ke Komisi II DPRRI dan Kementerian Dalam Negeri pada 17 Oktober 2013, serta diteken oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 21 Oktober 2013.
Dalam pertemuan yang dihadiri Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie dan Anggota Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, Ida Budhiati (ex officio KPU), Nelson Simanjuntak (ex officio Bawaslu), Ketua KPU Husni Kamil Manik dan Anggota Arif Budiman, Hadar Nafis Gumay, Ferry Kurniawan, serta Ketua Bawaslu Muhammad dan Anggota Daniel Zuchron, Endang Wihdaningtyas juga muncul kesepakatan terkait dengan persoalan yang dialami KPU dan Bawaslu.
Misalnya, soal bagaimana menyikapi bantuan dana asing. Pada prinsipnya, baik KPU, Bawaslu, dan DKPP berpendapat bahwa pembiayaaan tiga lembaga itu seharusnya dari APBN. “Untuk tahapan Pemilu dan capacity building tidak pantas kita memakai dana asing atau dari swasta. Tapi kalau kita dapat undangan dari luar negeri, ya tidak apa-apa dibiayai oleh mereka,” kata Jimly.
Dari persoalan dana asing atau kerja sama dengan pihak asing ini lahir kesepakatan ketiga, yakni akan dibentuk tim kecil untuk membahasnya. Anggota tim kecil ini perwakilan dari tiga lembaga, KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Kesepakatan keempat terkait dengan persoalan daftar pemilih tetap (DPT). Antara KPU dan Bawaslu terjadi perbedaan data soal DPT ini. Misalnya, hasil pengawasan Bawaslu seperti yang disampaikan Daniel Zuchron, ditemukan data bahwa ada kesalahan nomor induk kependudukan (NIK) sebanyak 36.375.000 dalam daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP). “Selain itu, di beberapa kota banyak ditemukan NIK kosong, kelebihan atau kurang nomor digit NIK-nya, dan sebagainya,” ujar Daniel.
Namun, data yang disebutkan Bawaslu tersebut, kata Hadar Nafis Gumay, berbeda dengan yang dimiliki KPU. Menurutnya, itu adalah data lama yang oleh KPU sudah diperbarui. Data terbaru, tambah Hadar, bisa dilihat di website KPU. “Terkait NIK kosong, kita harus hati-hati. Pasalnya, ada banyak orang yang memang tidak bisa diberikan KTP karena dianggap menempati lahan terlarang,” jelas Hadar.
Untuk soal DPT kemudian disepakati, antara KPU dan Bawaslu harus sering melakukan koordinasi. Kalau perlu, saran Jimly, kedua lembaga itu bisa berkantor bersama untuk lebih mengintenskan koordinasi. “Kalau itu tidak melanggar peraturan apa salahnya setiap saat ketemu. Dibuat saja mekanismenya,” katanya.
Kesepakatan kelima adalah persoalan yang dialami Bawaslu atas pengaduan dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait putusan DKPP yang dilaksanakan oleh KPU Tapanuli Utara. Seperti disampaikan Endang Wihdaningtyas, saat ini Bawaslu masih bingung mengambil keputusan soal itu.
Setelah dilakukan pembahasan, seperti saran Jimly akhirnya disepakati, untuk pengaduan semacam itu tindak lanjutnya bisa meniru yang dilakukan PTUN, yakni pengaduan di-NO (Niet Ontvankelijk Verklaard) alias tidak bisa diterima. “Putusan DKPP itu kan final dan mengikat. Jadi tidak bisa dijadikan objek perkara,” terang Jimly. (as)