Malang, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nur Hidayat Sardini menyatakan bahwa memang institusinya memiliki kewenangan besar dalam hal penyelenggaraan Pemilu. Karena kewenangannya itu, DKPP memberikan sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Sampai dengan 6 September 2013, DKPP sudah memberhentikan tetap 93 orang, pemberhentian sementara 8 orang, peringatan tertulis sebanyak 82 orang, sedangkan yang direhab 293 orang.
“Perlu diketahui bahwa banyaknya penyelenggara Pemilu yang diberhentikan itu tidak sedramtis yang diekspose media. Masih banyak anggota penyelenggara Pemilu yang direhabilitasi ketimbang diberi sanksi,” jelas Nur Hidayat Sardini saat menjadi narasumber dalam Seminar Publik Penegakan Hukum Pemilu yang diselenggarakan Constitusional and Electoral Reform Centre (Correct) kerjasama dengan The Asia Foundation dan Badan konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Malang di Hotel Tugu, Jalan Tugu Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (12/09) sekitar pukul 13.00 WIB. Dalam acara tersebut, narasumber lainnya Abdul Muktie Fadjar, mantan hakim Konstitusi RI, Direktur Eksekutif Correct Refly Harun, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Mohammad Najih. Selaku moderator Ahmad Irawan.
Dengan banyaknya penyelenggara pemilu yang diberhentikan, dikhawatirkan oleh sebagian kalangan akan menggangu tahapan Pemilu. “Lalu apakah akan mengganggu kredibilitas Pemilu? Itu tergantung dari mana kita melihat,” ujarnya.
Dia melihat, kredibilitas Pemilu bukan ditentukan oleh kenyamanan dan amannya saja. “Apakah pelanggaran yang berada di depan mata itu harus didiamkan? Lalu apakah permasalahan Pemilu itu selesai? Penyelenggara Pemilu itu mesti taat terhadap peraturan dan perundang-undangan,” jelas dosen ilmu politik Fisip Undip itu.
Dia mengungkapkan, yang terjadi di lapangan adalah tidak sedikit penyelenggara Pemilu di daerah yang menyimpang. Dia mencontohkan, ada anggota KPU di daerah yang masih dalam rapat pleno penetapan paslon dalam pemilukada itu memiliki keberpihakan terhadap pasangan calon tertentu. “Jadi ada kasus, dalam internal komisioner berpihak terhadap satu bakal paslon, dan ada komisioner yang lain berpihak pada bakal paslon lainnya. Nah ketika akan mengumumkan hasil rapat pleno mereka masih gontokan-gontokan mengenai lolos tidaknya jagoannya itu. Dan rapat itu disaksikan oleh publik setempat, ” jelasnya.
Contoh lain, ada pula anggota KPU di daerah Jawa Tengah yang sudah menduduki komisioner selama 10 tahun. Di saat bupatinya sudah ganti, kapolresnya sudah ganti dua kali begitu juga kajaksanaanya sudah ganti. “Karena lamanya orang tersebut menjabat di KPU, sehingga menanggap orang tersebut itu sebagai muspida plus. Bahkan, orang tersebut bisa menset-up semua orang di daerah tersebut,” jelas pria lulus S2 Ilmu Politik UI itu.
Tidaklah salah, bapak tiga anak lebih lanjut, anggota komisioner menjabat lebih dari dua periode. Namun ketika sudah merasa dirinya berkuasa, itu yang menjadi masalah. Kasus lain, ada seorang istri kontraktor, suaminya ketua KPU daerah. Si istri itu menekan kepada suaminya agar tender-tender yang ada di dinas-dinas jatuh kepadanya. “Yang lebih terbaru adalah adalah kasus KPU Kabupaten Kerinci. Mereka secara terbukti menghilangkan hak konstitusional salah satu pasangan calon,” tutup pria yang kini menempuh doktor di Unpad. (TTM)