Jakarta, DKPP – Masih dalam rangkaian
perayaan Milad DKPP yang keempat, Senin (13/6), Ketua KPU, Husni Kamil Manik,
memberikan keterangan terkait rencana Judicial Review (JR) ke Mahkamah
Konstitusi (MK) terhadap Pasal 9A Revisi Undang-Undang Pilkada yang telah
disahkan oleh DPR.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II, Muhammad Lukman Edy dalam
sambutannya menyoal agar KPU tidak melakukan JR. Hal itu ditanggapi oleh Ketua
KPU, Husni Kamil Manik, menurutnya tidak elok rasanya jika KPU tidak memberi
keterangan terkait rencana JR.
“Kaitannya dengan etika, dan juga Prof. Jimly pun sudah menyatakan di beberapa media, yang
menganjurkan agar KPU tidak melakukan JR, tetapi lebih mendukung kepada
bagaimana masyarakat yang menggunakannya. Maka, kami perlu sampaikan dihadapan
yang mulia, Wakil Ketua MK, bahwa putusan MK terakhir untuk gugatan dari kelompok
masyarakat sipil untuk melakukan JR kewajiban KPU melakukan konsultasi ditolak
oleh MK, karena kelompok masyarakat sipil tidak punya legal standing,†ujarnya.
Kemudian, pihaknya sedang mencari
referensi, apakah melanggar etika atau tidak jika KPU yang melakukan JR ini
karena Ketua DKPP sudah mendahului dengan mengeluarkan pernyataan kepada awak
media. Akan tetapi, berdasarkan referensi yang ada, dari pengalaman Dr. Nur
Hidayat Sardini saat menjabat sebagai Ketua Bawaslu, yang pernah melakukan JR
kedudukan Bawaslu di MK dan kemudian dimenangkan.
“Keterangan di situ disebutkan bahwa
Bawaslu dan Dewan Kehormatan (tanpa Penyelenggara Pemilu) merupakan Penyelenggara Pemilu sesuai dengan konstitusi
kita, UUD 1945. Juga, di bagian
pertimbangan disebutkan bahwa konsultasi tidak mengikat, dan apabila dipaksakan
mengganggu kemandirian/ independensi Penyelenggara Pemilu, di situ salah satunya,â€
tambahnya.
Oleh karenanya, pihaknya sedang
berbulat kata, sambil menunggu apakah memang di dalam revisi kedua ini
sudah benar-benar ada pasal itu, atau malah sudah menguap karena harmonisasi.
Namun, jika tidak menguap berarti Pemerintah pun harus bertanggung jawab atas
lahirnya UU Pilkada ini.
“Jadi, kami perlu sampaikan, kami
sedang membulatkan kata apakah kami akan melakukan JR atau selesai
diharmonisasi atau apakah mungkin dilakukan dalam sengketa antar lembaga,
karena seakan-akan DPR mau mengambil alih tugas KPU membuat peraturan. Hampir
sama seperti DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) waktu memproses pencalonan
Gubernur di Papua. Walaupun yang diminta sedikit, tetapi karena kami menganggap
mereka telah melampaui kewenangan, maka kami melakukan sengketa di MK terhadap
kewenangan,†tegasnya.
Harapannya, tidak sampai dianggap
melanggar etika, mengingat DPR memiliki kesempatan didalam UU Nomor 15 Tahun
2011 untuk mempersoalkan KPU ke DKPP yang memberikan rekomendasi pemberhentian.
“Jadi, JR ini tanpa syarat, tidak
dinegosiasikan, ataupun dibarter terhadap satu kebijakan,†tutupnya. [Nur
Khotimah]