Jakarta, DKPP – Ketua DKPP, Prof. Jimly
Asshiddiqie, hadir dalam Acara Pembukaan Pendafaran Partai Politik Menjadi
Badan Hukum di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Selasa (24/5). Acara dibuka langsung oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI, Yasonna
H. Laoly, dan kemudian dilanjutkan Talkshow yang mengusung tema Redesain Kelembagaan dan
Profesionalisme Partai Politik Menuju Sistem Kepartaian yang Efektif dan Demokratis.
Untuk diketahui bahwa Pendaftaran Parpol dimulai hari ini, Selasa,
24 Maret hingga 29 Juli 2016. Kemudian, dilakukan verifikasi administrasi dan substansi beserta keabsahan
dokumennya selama
2,5 tahun.
“Sesudah
reformasi bergulir hingga saat ini,
momentum mendirikan parpol terbuka lebar. Dan
sekarang sesudah 18 tahun berjalan, sudah saatnya kita melakukan kelembagaan parpol yang lebih serius. Jika parpol adalah pilar
demokrasi, maka pilar
ini harus diperbaiki. Disatu sisi, parpol makin dominan. Namun, di sisi yang lain makin tidak disukai
masyarakat,†ungkap Jimly.
Hal ini, lanjutnya, harus diperbaiki. Melihat kecenderungan pimpinan parpol
yang semakin lama semakin tua dan semakin
tidak demokratis. Menurutnya,
hal ini menjadi masalah.
“Bagaimana seorang pimpinan bisa diharapkan menjadi instrumen demokrasi dalam bernegara jika di tubuh partainya sendiri tidak
bisa mengelola demokratisasi. Kedepannya, harus ada aturan yang membatasi kepengurusan berapa periode,†tegasnya.
Kemudian, mengapa semua orang berbondong-bondong ingin menjadi ketua umum, karena yang ada dalam pikirannya ingin menjadi capres. Namun, nantinya, setelah tahun 2019, sesudah pemilu serentak
sekaligus pemilihan presiden, harus ada kebijakan resmi di setiap parpol
atau ditambah
kebijakan konvensi, seperti yang telah diprakarsai Golkar, dan harus menjadi kebijakan resmi.
“Artinya bahwa capres atau calon kepala daerah tidak ditentukan secara internal tertutup, tetapi harus terbuka melalui konvensi
demokratis. Mengapa, karena rakyat akan mencari
tokoh yang elektabilitasnya tinggi, bukan gara-gara dia menguasai struktur
partai,â€
tambahnya.
Nantinya, orang berpikir apabila ingin
menjadi presiden, mengapa harus
menjadi ketum dahulu, yang belum tentu dikenal masyarakat. Yang harus dilakukan
adalah rajin
bertemu rakyat, sehingga keinginan untuk menjadi ketum tidak perlu berebut.
“Oneday, parpol akan mengalami proses kelembagaan
makin rasional, makin professional, yang hanya
mungkin terjadi jika ada konvensi. dan juga tidak ada konflik internal. Kalaupun
ada friksi atau konflik, harus ada mekanisme yang jelas terkait penyelesaian konfliknya,â€
tegasnya.
Terakhir, mengenai dana yang memang paling dominan. Faktanya, dibelakang parpol pasti ada pemodal.
“Jangan
sampai parpol sebagai instrumen demokrasi dikooptasi
oleh pemodal. Ini bahaya.
Sehingga, harus dibicarakan mengenai dana partainya
bagaimana. Harus dipertegas mengenai dana partai yang diatur
dalam Undang-Undang dan pelanggaran
terhadapnya bisa dijadikan alasan pembubaran
partai
tersebut,†tambahnya.
Parpol, lanjut Jimly, hanya dapat menerima 6 sumber dana yaitu Iuran Internal, APBN, APBD,
sumbangan pribadi, CPR (Corporate
Political Responsibility) dan
iklan (media). [Nur Khotimah]