Boyolali, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Heddy Lugito, mengungkapkan segala problematika pemilu dan pilkada akan memengaruhi indeks demokrasi Indonesia. Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam kegiatan yang diadakan oleh Bawaslu Kabupaten Boyolali di Kabupaten Boyolali, Selasa (14/10/2025).
Menurut Heddy, terdapat lima tantangan yang harus diatasi dalam pemilu di Indonesia, yaitu politik uang; netralitas ASN; regulasi yang bermasalah; integritas penyelenggara pemilu; dan pejabat korup.
“(Semua masalah pemilu) ujungnya apa? indeks demokrasi kita semakin turun. Indeks demokrasi kita menurut laporan The Economist Intelligence Unit, majalah yang terbit di Inggris sana, kita berada di peringkat 59 dari total 167 negara. Indeks demokrasi kita kalah dari Filipina dan Malaysia, dikategorikan demokrasi yang cacat,” terangnya.
Tahun ini, The Economist Intelligence Unit memublikasikan laporan tentang indeks demokrasi negara-negara pada 2024. Dalam laporan tersebut, indeks demokrasi Indonesia mencapai skor 6,44. Sebagai perbandingan, pada 2015 atau setahun setelah Pemilu 2014, indeks demokrasi Indonesia mencapai skor 7,03.
“Dan indeks demokrasi kita makin ke sini makin turun. Tahun 2015, setahun setelah pemilu 2014, indeks demokrasi kita masih 7,03, masih sehat,” ungkap Heddy.
Dalam kesempatan ini Heddy memaparkan berbagai data pendukung untuk menjelaskan secara nyata permasalahan tersebut. Terkait politik uang misalnya, ia mengutip riset dari Founding Father House (FFH) yang menyebut pada periode 2010-2016 rata-rata terdapat 60 persen masyarakat menganggap politik uang sebagai hal yang biasa.
“Kalau angkanya sudah mencapai 60 persen ini sudah sangat memprihatinkan. Ini tugas berat KPU dan Bawaslu untuk menetralisir politik uang saat pilkada, pileg, dan pilpres. Kita tdak bisa menutup mata, dan inilah yang membuat biaya politik kita sangat besar. Oleh karena itu sempat muncul wacana bagaimana kalau pilkada di DPRD saja jangan pilkada langsung,” kata Heddy.
Sedangkan dalam hal netralitas ASN, Heddy merujuk pada data pelanggaran ASN yang ditangani Bawaslu. Berdasar data Bawaslu, terdapat tren kenaikan jumlah ASN yang tidak netral dalam tahun pelaksanaan pemilu.
Pada 2019, terdapat 491 pelanggaran ASN yang ditangani Bawaslu. Angka ini naik empat kali lipat pada 2024 menjadi 1.929 pelanggaran.
“Angka ini bukanlah realitas di lapangan, ini adalah puncak gunung es, yang tidak tertangkap mungkin lebih banyak. Ini sangat memprihatinkan. Jadi netralitas ASN ini jadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemilu kita, terutama pilkada. Karena kalau mereka dukung salah satu calon, mereka berharap bisa dapat jabatan yang bagus, atau minimal bertahan di posisi sebelumnya, minimal tidak digeser,” terang pria yang mengawali karirnya sebagai wartawan di Semarang ini.
Dalam permasalahan integritas penyelenggara pemilu, Heddy menyebut sepanjang tahun 2024 DKPP telah menerima 790 dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Ia mengatakan, jika dirata-rata, dalam sehari DKPP menerima lebih dari dua aduan dugaan pelanggaran KEPP selama 2024.
“Angka ini berujung pada 510 peringatan, 4 pemberhentian sementara, ada 76 anggota KPU maupun Bawaslu yang dipecat, ada 15 orang yang dicopot dari jabatan ketua. Inilah gambaran betapa kerasnya Pemilu 2024,” jelasnya.
Heddy menambahkan, pemilu yang terlaksana dengan tidak baik akan menghasilkan output yang tidak baik pula. Menurutnya, hasil dari pemilu yang dipenuhi dengan politik uang, ASN yang tidak netral, dan penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas akan melahirkan pemimpin yang kurang memperhatikan rakyat.
Ia merujuk pada rilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2021 yang menyebut 429 kepala daerah hasil pilkada tersandung korupsi. Pada periode 2005-2018, katanya, juga terdapat 348 kepala daerah yang tersandung korupsi.
“Angka ini sangat memprihatinkan. Kenapa pemilu kita belum juga bisa sepenuhnya menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi kesejahteraan rakyat kita semua? Karena berlangsung dengan tidak baik pula. Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Kita hanya bisa menyalahkan diri sendiri sebagai penyelenggara pemilu karena belum bisa menyelenggarakan pemilu yang baik,” tandas mantan Pemred Majalah Gatra ini. [Humas DKPP]


