Jakarta, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito menyebut masih ada sebagian dari masyarakat yang menganggap politik uang bukanlah hal tabu dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Indonesia.
Hal ini disampaikan Heddy saat memberikan materi dalam webinar yang diadakan Universitas Airlangga bertema “Pencegahan Politik Uang untuk Pemilu Berintegritas”, Jumat (20/10/2023).
Dalam kesempatan ini mengutip survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2020 di mana 21,9% responden mengaku pernah ditawari uang atau barang untuk memilih calon gubernur yang berkontestasi dalam Pilkada. 22,7% responden juga mengakui ditawari hal serupa untuk memilih calon bupati/walikota.
“Ini sangat memprihatinkan bagi kehidupan demokrasi kita,” kata Heddy.
Heddy juga mengutip penelitian Founding Father House (FFH) yang menyebutkan dalam kurun waktu 2010-2016 terdapat sekitar 60% pemilih yang setuju dengan praktik politik uang.
Menurut Heddy yang pernah berkarir selama 22 tahun sebagai wartawan, hal ini terjadi lantaran program-program yang ditawarkan peserta Pemilu dianggap masyarakat sebagai pemanis bibir atau lips service saja.
“Sehingga pemilih berpikir ‘ngapain nunggu nanti, sekarang saja dong’. Kira-kira seperti itu,” terangnya.
Padahal menurut Heddy, peserta pemilu yang taat aturan serta pemilih yang partisipatif dan cerdas adalah dua dari lima syarat dari Pemilu yang demokratis.
“Dan faktanya juga banyak pejabat negara hasil Pemilu kita, banyak anggota DPRD, DPR, bupati atau walikota yang terjebak pada perkara korupsi. Ini adalah produk dari ketidaksehatan demokrasi kita. Harus kita akui,” papar pria berusia 63 tahun ini.
Faktor lain yang membuat pemilu menjadi demokratis adalah birokrat (Aparatur Sipil Negara) yang netral. Sektor ini pun disebut Heddy setali tiga uang dengan dua sektor yang telah disebutkan di atas.
Heddy mengutip data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), selama 2015-2020 terdapat 1.390 pelanggaran ASN dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. 43,4 persen di antaranya adalah bermotif untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan, lalu 15,4 persen karena hubungan kekerabatan atau kekeluargaan, 12,1 persen karena ASN tidak paham harus netral, dan 7,7 persen ada intervensi dari atasan.
“Persoalan yg mendasar di republik ini adalah persoalan etika. Hampir di semua lini di kehidupan berbangsa dan bernegara kita itu mengabaikan etika,” ujar Heddy.
Sementara dalam konteks tenaga kepemiluan, Heddy menegaskan bahwa DKPP terus berupaya untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh penyelenggara pemilu, baik itu jajaran KPU dan Bawaslu, di segala tingkat agar tetap mengedepankan Kode Etik Penyelenggara Pemilu dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
“Mari para penyelenggara pemilu yang memiliki tugas sangat mulia ini menjaga integritas di level tertinggi sehingga nanti pejabat hasil pemilu kita memiliki level integritas yang tertinggi pula,” tutupnya. [Humas DKPP]