Jakarta, DKPP- Kaukus Muda Indonesia
(KMI), Rabu (23/9), menggelar diskusi di Hall Dewan Pers, Jakarta. Diskusi
mengambil tema Mengkritik Tidak Harus Menghina: Membedah Pasal Penghinaan
Presiden dalam Konteks Menjaga Kualitas Demokrasi Indonesia sebagai Bangsa Bermartabat.
Hadir sebagai narasumber Ketua DKPP Prof Jimly Asshiddiqie. Selain itu, hadir
juga Anggota DPR RI Komisi III Abdul Kadir Karding, Tarman Azam dari PWI, dan
Dahana Putra dari Kemenkumham. Dalam pernyataannya KMI menyebutkan bahwa
diskusi ini dimaksudkan untuk mencari formulasi terbaik atas pasal penghinaan
presiden.
“Di satu sisi presiden harus dilindungi tapi di sisi lain pasal penghinaan
presiden telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Saat ini, akan
dimunculkan lagi pasal tersebut melalui revisi KUHP,†ungkap Ketua KMI Edi
Humaidi.
Secara umum, tiga narasumber yaitu Abdul Kadir Karding, Dahana Putra, dan
Tarman Azam setuju pasal tentang penghinaan presiden dimunculkan kembali.
Alasannya, hal itu berlaku juga di negara-negara maju dan penting untuk
melindungi presiden.
Namun Prof Jimly memiliki pendapat berbeda. Sebagai Ketua MK yang mencabut
pasal tersebut Prof Jimly menilai niat memunculkan pasal itu adalah sebuah kemunduran. Menurutnya, putusan waktu itu bukan putusan pribadinya, tapi putusan
institusi yang bersifat final dan mengikat.
“Kalau DPR dan pemerintah setuju pasal itu dimunculkan kembali, silakan, saya
tidak ikut campur. Tapi kalau saya diminta pendapat, secara pribadi saya
mengatakan itu setback,†terang Prof
Jimly.
Guru Besar Tata Negara Universitas Indonesia menegaskan, putusan MK bukan
berarti menghalalkan penghinaan. Baginya penghinaan tetap harus dilarang
melalui delik pidana. Lebih jauh, ujar dia, KUHP adalah produk Belanda dan kita
hanya menerjemahkan.
“Di beberapa negara Eropa pasal itu masih ada, tapi tidak digunakan, hanya
menjadi teks mati (death lecture).
Dan draf yang ada dalam rancangan KUHP revisi ini sudah lama ada, bukan dari
Presiden Jokowi,†tuturnya.
Sebagai solusinya, Prof Jimly menyarankan agar ada pembinaan di setiap lini,
baik kepada masyarakat maupun di lembaga profesi. Pembinaan dimaksudkan agar
tidak ada lagi penghinaan. Kritik adalah hal wajar dalam demokrasi, tapi
menghina tetap dilarang. Menurutnya, semua itu menjadi bagian dari upaya
membangun peradaban bangsa. (Arif Syarwani)