Jakarta, DKPP- Ketua DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie
menyampaikan bahwa kinerja penyelenggara Pemilu semakin baik. Namun,
independensi dari penyelenggara Pemilu seringkali menghadapi persoalan yang ditimbulkan
oleh kepentingan peserta yang ingin mengontrolnya.
KPU sebagai penyelenggara Pemilu telah
diupayakan independensinya sejak tahun 1999, pada masa kepemimpinan BJ Habibie.
Sebelumnya, lembaga ini bernama Lembaga Pemilihan Pemilu (LPU). Penyelenggara
Pemilu diberi kewenangan undang-undang untuk menyusun regulasi sendiri.
Namun, dalam pelaksanaannya KPU dan Bawaslu
dipaksa untuk mendengarkan rekomendasi yang lengkap dari DPR. Berbeda dengan
lembaga lain seperti BI, MK, dan KPK yang juga diberi kewenangan sama oleh
undang-undang. Mereka dapat menyusun peraturan masing-masing tanpa harus
mengkonsultasikannya.
“Selain peraturan yang harus dikonsultasikan.
Untuk mengangkat Sekjen KPU, terlebih dahulu harus mengajukan tiga nama kepada
Presiden untuk kemudian dipilih. Ini artinya, independensi dari penyelenggara
Pemilu belum sesuai dengan yang dimaksud dalam konstitusi yang mengatakan bahwa
penyelenggara Pemilu bersifat nasional, tetap, dan mandiri,†tutur Prof. Jimly
saat ditemui Antara di kantor DKPP,
Jl MH Thamrin 14 Jakpus, Rabu (28/9).
“KPU menjadi penyelenggara untuk Pilpres,
Pileg dan Pilkada. Ini artinya eksekutif dan legislatif adalah peserta Pemilu. Eksekutif
dan legislatif memiliki kepentingan besar pada KPU dan Bawaslu. Ini yang harus
diperhatikan,†imbuhnya.
Menurut Prof Jimly, untuk melihat kinerja
penyelenggara Pemilu tidak dapat dinilai tersendiri, namun juga konteks
kepentingan dari eksekutif dan legislatif sebagai satu kesatuan sistem antara
penyelenggara dan peserta.
Foto dan berita: Irmawanti