Jakarta, DKPP – Komisi Yudisial (KY) bekerja sama dengan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggelar
Prakonferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara di Auditarium Komisi Yudisial,
Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (4/5/2017), pukul 09.00 WIB. Tema yang
diangkat pada acara ini “Diskursus Integrasi Sistem Kode Etik dan Penegakannyaâ€.
Hadir dalam kesempatan
ini, anggota DKPP Saut H Sirait, Anna Erliyana, Ida Budhiati, Anggota Bawaslu
Ratna Dewi Pettalolo, anggota KPU Hasyim As’ari sejumlah tamu undangan lain.
Ketua DKPP, Prof.
Jimly Asshiddiqie menyampaikan pentingnya etika yang di-installed dalam
sistem etik kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasalnya, saat ini pendekatan
hukum tidak lagi efektif. Saat ini, sudah tidak bisa lagi
mengandalkan pendekatan hukum saja.
“Kalau kita sebagai
orang hukum senang sekali mengatakan hukum adalah segala-galanya. Hukum adalah
supremasi, komandan, dan panglima adalah hukum. Maunya begitu dalam harapan
kita. Tetapi nyatanya tidak selalu demikian. Dalam praktik, politik sangat
menentukan. Ini dibalik politik sudah ketahuan juga sekarang. Ekonomi
sebetulnya ada di belakang politik. Maka kalau begitu, hukum bukan panglima,
jadi panglima itu adalah ekonomi, nyatanya begitu. Dan trendnya di seluruh
seperti itu. Incoporated democracy atau democratic
incoporated,†ucapnya.
Dia mencontohkan,
kejadian ini tidak hanya di Indonesia , di Amerika Serikat juga begitu. Karena
demokrasi semakin mahal, maka semakin membutuhkan modal. Karena itu, beban
hukum berat sekali. “Maka kita harus topang dengan berfungsinya sistem etika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum itu kalau mau kita bangun dan
tegakkan, maka harus ditopong oleh sistem etika hukum yang berfungsi dengan
baik. Sudah saat kita menginstal sistem etika ke negara secara fungsional,â€
jelas Jimly.
Dia menyatakan, sanksi
dalam pendekatan hukum hanya sekedar menghukum, sedangkan etika tidak hanya
memberikan sanksi tapi lebih bersifat mendidik. “Sanksi etika bukan untuk
membalas kesalahan, tetapi bersifat mendidik terhadap pelanggar, sekaligus
menjaga lembaga kepercayaan publik institusi. Institusi tetap jalan terus
melayani tanpa harus terganggu,†katanya.
Sementara itu, Ketua
Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, zaman Orde Baru
sudah ada instrumen dalam penegakan kode etik, yaitu Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang
Eka Prasetya Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (disingkat P4).
Tetapi sayangnya, TAP MPR tersebut sudah dicabut karena terlalu Jawa sentris.
“Nah, bagaimana kita merumuskan etika secara bersama-sama menjadi tantangan
kita semua,†katanya.
Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menyampaikan bahwa pihaknya setuju perlu
penegakan kode etik berbangsa dan bernegara. Hal ini selaras dengan
tujuan negara sebagaimana tujuan negara.
Usai sambutan,
dilanjutkan dengan diskusi dengan narasumber Prof. Dr. Maruar
Siahaan, mantan Hakim MK, Romo Dr. Andang L Binawan, akademisi), M
Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, mantan Ketua KY RI. [teten jamaludin]