Makassar, DKPP – Dalam ilmu hukum, biasa dikenal adanya istilah ‘court of law’ versus ‘court of justice’ untuk menggambarkan
adanya dua aliran pemikiran dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. ‘Court of justice’ adalah pengadilan
keadilan yang berusaha menegakkan keadilan dalam arti yang
substantive, bukan sekedar pengadilan hukum dalam arti formal yang hanya
berusaha menegakkan hukum dari perspektifnya yang bersifat formalistik dan prosedural
semata.
Namun, istilah pengadilan hukum (court of law) adalah untuk membedakannya dari pengadilan di bidang
etika (court of ethics). Lembaga
peradilan yang menjalankan fungsi peradilan di bidang hukum (court of law) yang ada selama ini dapat
dikatakan telah berkembang melalui proses yang sangat panjang dalam sejarah
umat manusia sejak zaman dahulu kala sampai sekarang. Hal tersebut dikemukakan
oleh Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, saat memberikan Kuliah Umum di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Kamis (27/11/2014).
“Dalam sejarah, pada
mulanya orang mengadakan mekanisme peradilan hanya didasarkan atas
ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Jika dikaitkan dengan
perkembangan hukum adat di Indonesia, dapat dikatakan bahwa bentuk pengadilan
yang paling sederhana dalam sejarah, termasuk juga dalam sejarah Eropa, adalah
peradilan yang didasarkan atas norma-norma hukum yang tidak tertulis, yang
hidup dalam kebiasaan komunitas-komunitas masyarakat yang homogen dan
masih sangat sederhana. Dalam pengalaman masyarakat Indonesia,
komunitas-komunitas dimaksud tidak lain adalah kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat yang melengkapi diri masing-masing dengan bentuk-bentuk lembaga
pengadilan adat yang sederhana. Lama kelamaan bentuk-bentuk pengadilan yang
sederhana itu berkembang seiring dengan berkembangnya pengertian-pengertian dan
kegiatan-kegiatan praktik yang berhubungan dengan bentuk-bentuk norma hukum
dalam perikehidupan bersama dalam masyarakat yang terus berkembang dinamis
menjadi semakin modern,
â€papar
penggagas dan ketua pertama MK (2003-2008) ini.
“Dari perkembangan paling sederhana, pengadilan
bekerja berdasarkan ketentuan hukum adat yang tidak tertulis (onschreven adatrecht). Lama kelamaan,
setelah masyarakat mengenal tradisi baca tulis, ketentuan hukum adat yang tidak
tertulis itu pun mulai dituliskan sebagaimana banyak ditemukan dalam sejarah
masyarakat adat nusantara sendiri. Beberapa daerah ditemukan sejak masa pra
sejarah sudah mengenal huruf, seperti ditemukan di masyarakat Rejang, Lampung
atau pun di daerah-daerah lain. Tulisan-tulisan Jawa kuno, adat Batak, di
Kalimatan, Sulawesi dan di daerah-daerah lain, sejak dahulu kala sudah
mempunyai tradisi baca tulis, sehingga hukum adat yang pada umumnya tidak
tertulis itu pun lama kelamaan dituliskan dalam naskah-naskah sederhana,
seperti di atas pelepah-pelapah kayu, daun-daun kering, di atas bebatuan, dan
sebagainya,†jelas Penasehat Komnas Ham RI ini.
“Di dunia Islam pada umumnya, sebelum dikenal adanya
sistem hukum positif dalam bentuk undang-undang, proses peradilan memang hanya
bekerja atas dasar kitab-kitab fiqh tulisan para ulama fiqh. Hal itu terjadi
tidak hanya di Indonesia, tetapi di hampir semua negeri-negeri Muslim. Padahal,
status hukum dari buku-buku atau kitab-kitab fiqh dimaksud hanyalah merupakan
karya-karya yang bersifat pribadi yang kekuatan mengikatnya tidak ditopang atau
dikukuhkan oleh otoritas kekuasaan negara. Orang tunduk kepada kitab-kitab fiqh
tersebut hanya didasarkan atas kepercayaan bahwa para ulama fiqh tersebut pasti
benar dalam menafsirkan syari’at ajaran agama Islam yang diyakininya. Tradisi
peradilan yang mendasarkan diri pada kitab-kitab hukum seperti demikian itulah
yang dinamakan “rechtsspraak naar
rechtsboeken†yang dipraktikkan sebelum berkembangnya tradisi peradilan
berdasar atas peraturan perundang-undangan disebut “rechtsspraak naar wetboeken, †lanjut
dia.
Dia
menambahkan bahwa tidak semua bangsa dan negara
mempunyai pengalaman yang sama mengenai tahap-tahap perkembangan ‘rechtsspraak naar rechtsboeken’,
‘rechtsspraak naar wetboeken’, dan ‘rechtsspraak
naar precendeten’ tersebut. Dalam pengalaman sejarah tradisi hukum Islam,
dari tradisi “rechtsspraak naar
rechtsboeken†dapat pula tumbuh menjadi “rechtsspraak naar precedenten†seperti dalam tradisi “common lawâ€. Karena itu, perkembangan
dari “rechtsboeken†menjadi “wetboeken†seperti dalam tradisi “civil law†atau menjadi “rechtsprecedenten†seperti dalam tradisi
“common lawâ€, sangat tergantung
kepada latar belakang sejarah masing-masing negara.
Pada akhir paparannya, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI Bidang
Hukum dan Ketatanegaraan ini
menghimbau pada kalangan calon
dan para sarjana hukum di Indonesia, agar ke depan tidak terus terjebak dalam
pemahaman hukum yang proseduralistik, hanya sebatas pada pemahaman titik koma,
atau sekadar menjadi sarjana peraturan tetapi harus juga pada pendekatan dalam
memahami hukum dari aspek etika. Dengan demikian, baik calon maupun para
sarjana hukum di Indonesia dapat menangkap ruh keadilan dan mampu menerapkan
etika keadilan dalam praktik kehidupan bernegara. (ry).