Bukittinggi, DKPP –Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Minggu-Rabu (19-22/4) secara bersama menggelar
Bimbingan Teknis (Bimtek) kepada penyelenggara Pemilu se-Pulau Sumatera. Acara
yang digelar di The Hills Convention Centre, Bukittinggi sebagai persiapan
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, serta
Walikota-Wakil Walikota se-Sumatera pada 2015.
Ikut
membuka acara adalah Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie. Dalam ceramahnya, ketua
Mahkamah Konstitusi RI pertama (2003-2008) menjelaskan masalah penting yang sering kurang mendapat perhatian dalam perkembangan
sistem peradilan modern, yakni tentang keadilan restoratif (restorative
justice). Menurutnya, proses peradilan konvensional selalu dipahami dalam
pengertian tentang paradigma keadilan retributif (retributive justice).
“Yang diutamakan dalam proses peradilan konvensional
adalah sistem sanksi hukum yang bersifat menghukum, balas dendam dengan
melampiaskan sakit hati, atau menyalurkan kemarahan. Dalam hukum pidana, yang tersedia
adalah sistem sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana denda, dan sebagainya,â€
demikian ungkap dia.
Dalam pandangannya, sistem peradilan semacam itu
tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi jika hal itu menyangkut jabatan
publik. Seorang pejabat publik yang tersandung masalah hukum sering kali secara
otomatis akan merusak citra institusi di mana dia berasal. Padahal, bisa jadi
perbuatan si pejabat tidak ada hubungannya dengan nama baik institusi. Salah
satu cara mengembalikan nama baik institusi adalah menunggu hasil proses
pengadilan, yang itu butuh waktu cukup lama.
“Pemahaman seperti itu harus kita ubah. Citra
institusi mesti segera dikembalikan dari oknum-oknum yang merusak nama baiknya.
Selain sistem peradilan hukum, di sini kita butuh sistem peradilan yang efektif
dan efisien. Itu bisa dilakukan dengan sistem peradilan etika, di mana
sanksinya bisa berupa teguran atau pemberhentian tetap,†urai Guru Besar Hukum
Tata Negara Universitas Indonesia Jakarta.
Lebih lanjut, Prof Jimly menjelaskan, selama ini lembaga DKPP
yang dipimpinnya telah mempraktikkan sistem peradilan etika tersebut. Sistem
peradilan etika di DKPP secara umum juga mengadopsi sistem peradilan hukum, di
mana semua pihak baik pengadu, teradu, dan saksi dihadirkan dan diberi
kesempatan yang sama dalam proses persidangan. Sidangnya pun dilakukan secara terbuka.
“Apa yang dilakukan DKPP bisa dikatakan sebagai
ijtihad baru. Ini pertama di dunia dan bisa menjadi model sekaligus model bagi praktik peradilan etika yang transparan dan modern. Dalam sistem demokrasi
modern, desain sistem
peradilan adalah perpaduan antara rule of law dan rule
of ethics yang dijalankansecara bersamaan. Itulah tugas
utama kita dalam menghadapi berbagai tantangan kekacauan norma etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Melalui praktik peradilan etik yang terbuka dan
akuntabel di DKPP yang secara khusus
kita kembangkan di lingkungan penyelenggara pemilu ini, kita harapkan dapat
memberikan sumbangan positif bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan publik
agar senantiasa berpihak pada keadilan,†tutur mantan anggota Dewan
Pertimbangan Presiden Republik Indonesia Bidang Hukum dan Ketatanegaraan. (Rahman
Yasin/as)
Editor: Dio