Jakarta,
DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) Pdt. Saut H Sirait
menerangkan ada beberapa potensi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu
dalam Pemilukada serentak. Potensi ini diketahui hasil dari focus group
discussion (FGD) di sejumlah provinsi yang diselenggarakan DKPP. Ada tujuh
kategori, salah satunya adalah dalam bidang administrasi. Permasalahan yang mengemuka
seperti penetapan daftar pemilih (antara KTP dan domisili) dan potensi penggelembungan
suara. “Terdaftarnya orang yang telah meninggal dunia, anak yang belum cukup
umur dan mobilisasi pemilih antardaerah.
Kedua,
pendaftaran dan penetapan calon pasangan calon partai. Pemicunya dalah konflik
di dalam partai atau partai yang terbelah seperti PPP dan Golkar. Ketiga,
konflik antara komisioner dengan sekretariat. “Tidak terbangunnya komunikasi
yang baik antara komisioner dan kesekretariatan terkait tupoksi serta
keberpihakan kesekeretariatan,†ujar dia dalam acara Diskusi Terfokus dengan
tema Tinjauan Kritis Atas Pelaksanaan Pilkada dan Revisi Undang-Undang Pilkada
dalam Perspektif HAM di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (14/3). Pembicara
lainnya, Ronal Fariz, ICW, Ketua Bawaslu RI Muhammad, Ketua KPU RI Husni Kamil
Manik, Fadli Ramadhanil, peneliti Perludem dan lain-lain.
Untuk
itu, pemutakhiran daftar pemilih pada satu pintu dan berkelanjutan. Indonesia
bisa belajar dari Australia, pemutahiran daftar pemilih dilakukan oleh KPU dan
dilakukan secara intensif dan berkelanjutan.
Sementara
itu, menurut Donal Fariz, Indonesia Coruption Watch, pangkal mula sejumlah
polemik pencalonan kepala daerah dimulai sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan
membatalkan pasal yang melarang pencalonan kandidat yang dijatuhi pidana dengan
ancaman di atas lima tahun penjara. “Dampak dari putusan MK, mengakibatkan
munculnya sejumlah calon kepala daerah yang pernah dijerat dengan kasus-kasus
korupsi. Bahkan parahnya lagi sejumlah calon kepala daerah masih menjalani sisa
hukuman di luar penjara dengan status bebas bersyarat,†jelas Donal. [teten
jamaludin]