Jakarta,
DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Jimly
Asshiddiqie, menyatakan bahwa jabatan bukanlah segalanya. Ditemui disela sidang
pemeriksaan yang digelar hari ini Selasa (29/12)
mantan ketua MK RI
ini menjawab pertanyaan awak media menanggapi fenomena
pejabat yang mengundurkan diri dari jabatannya akibat tidak tercapainya target.
“Semua
orang berhak mengundurkan diri kapan saja dan dengan alasan apa saja. Bisa dengan
alasan sejati atau pun alasan yang dibuat-buat untuk mencapai sesuatu yang lain.
Akan tetapi, kita harus menghargai keputusannya, mudah-mudahan tidak mengurangi
jasa-jasa dan prestasi pengabdian yang
sudah ditunjukkan selama menjabat, baik itu sebelum ataupun sesudah menjabat sebagai dirjen,†terang Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia
ini.
Gejala
sosial seperti ini, lanjut Jimly, sudah ada beberapa kasus yang sama, seperti
misalnya dirjen pajak, kemudian dirjen perhubungan. “Bisa jadi, alasan
mengundurkan dirinya, mungkin ada tekanan berat di lingkungan birokrasi pemerintahan
sesudah reformasi, gejala politisasi internal birokrasi memberi tekanan
tersendiri bagi pejabat professional sehingga menjadi tidak betah,†terang
Jimly.
Masih
menurut Jimly, bahwa apapun alasannya, jika fenomena ini semakin banyak
terjadi, maka dampak positifnya adalah
bahwa jabatan bukan segalanya. Sekarang ini, kecenderungannya adalah bahwa semua
jabatan diperebutkan. Jabatan birokrasi saja dilelang,dari jabatan eselon satu,
dua, bahkan tiga, yang maksudnya untuk refreshment. Akan tetapi hal ini yang
menyebabkan jabatan menjadi komoditi yang diperebutkan. “Hal ini merupakan gejala
besar yang belum tentu baik, karena moral jabatan itu, tidak lagi dilihat
sebagai amanah, hanya sebagai komoditas,†tegas Jimly.
Nantinya,
sambung Jimly bahwa menjadi mantan itu suatu hal yang biasa saja, ada mantan
menteri atau mantan presiden yang paling banter juga menjabat selama 10 (sepuluh) tahun. “Makanya,
dalam berjuang untuk memperoleh jabatan pun tidak boleh irrasional. Apalagi
dengan melakukan semua hal untuk jabatan. Orang jangan lagi melihat jabatan
sebagai sesuatu yang serius, seakan-akan menjadi cita-cita hidup. Akan
tetapi, lupa dengan amanahnya. Jabatan
itu hanya alat, sebagai sarana untuk mencari kemulianan dari Allah yang
tercermin dalam kemuliaaan terhadap sesama.†tegasnya lagi.
Agar
disadari oleh yang lain, lanjut Jimly, bahwa seharusnya orang punya malu
apabila gagal bekerja, seperti yang terjadi di Jepang atau di negara lain. Tanpa disuruh
mundur pun, dia akan mengundurkan diri. Tidak seperti sekarang, yang terjadi di
negara ini adalah orang tidak
mau mundur, maunya maju terus demi sebuah jabatan dengan nafsu, tetapi tidak
mengerjakan apa-apa. Kekayaan menjadi alat untuk mencari kekayaan, apa yang seharusnya
dikerjakan, tidak dikerjakan, dan tidak juga melayani masyarakat. “Bangsa kita tidak memerlukan orang yang
seperti itu, orang yang hanya cinta jabatan, sementara kinerjanya nol,â€
tutupnya. [Nur Khotimah]