Jakarta,
DKPP–
Masih maraknya kasus intoleransi di Indonesia menjadi keprihatinan bersama.
Terbukanya ruang kebebasan secara luas setelah 15 tahun Reformasi, ternyata, di
satu sisi punya makna positif dan di sisi lain bermakna negatif. Dari sisi negatifnya,
atas nama kebebasan semua orang merasa dapat menilai orang lain benar atau
salah. Akibatnya, karena merasa paling benar sering kali memaksakan keyakinannya
tersebut kepada yang lain, bahkan dengan cara-cara kekerasan.
Poin-poin tersebut mengemuka dalam sebuah Dialog Kebangsaan: Menyikapi Meningkatnya
Gerakan Intoleransi Beragama di Tanah Air yang diadakan oleh Gerakan
Masyarakat Penerus Bung Karno (GMP) di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (13/2).
Salah satu pembicara dalam diskusi ini adalah Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie. Dalam paparannya, Jimly menyebut
bahwa maraknya berbagai aliran di Indonesia, termasuk aliran intoleran, tak
dapat dimungkiri muncul dari ruang bebas yang diciptakan oleh tokoh-tokoh
negeri ini sendiri. Namun, dia melihat itu sebagai sebuah dinamika yang harus
disikapi secara optimistis.
“Semua itu harus dilihat sebagai proses. Memang,
kebebasan sekarang ini butuh kita kaji. Kebebasan tidak bisa tanpa batas. Liberty itu perlu juga equality dan fraternity,†ungkap Jimly di hadapan peserta diskusi dan pembicara
lain yang merupakan tokoh-tokoh gerakan toleransi seperti Musdah Mulia, Pastor
Benny Susatyo, dan KH Muhaimin.
Menurut Jimly, salah satu hal yang dapat mencegah
maraknya intoleransi tersebut adalah terciptanya kepemimpinan yang efektif.
Kepemimpinan yang efektif, katanya, harus menjadi problem solving (penyelesai masalah), termasuk di sini adalah mampu memastikan terwujudnya kerukunan dalam
masyarakat. “Mudah-mudahan Pemilu nanti mampu melahirkan pemimpin yang baik,
sehingga dapat menjadi momentum untuk mengubah kebiasaan intoleransi seperti
yang terjadi saat ini,†ujarnya. (as)