*** Terkait Pilpres
Jakarta, DKPP – Jadwal Putusan sidang dugaan pelanggaran kode etik KPU RI dan
Bawaslu RI rencananya akan dibacakan berbarengan dengan jadwal pembacaan
Putusan terkait Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Rencana ini sudah disepakati di
lingkungan internal DKPP.
“Jadwal Putusan akan bareng dengan di MK, supaya tidak saling
pengaruh-mempengaruhi. Bisa beda jam. Bisa duluan bisa juga belakangan. Tapi
harinya sama,†kata Ketua DKPP Prof Jimly Asshiddiqie di ruang kerjanya, Selasa
(12/8).
Dia menerangkan, sebenarnya prosedur beracara di DKPP dengan prosedur
beracara di MK itu berbeda. Di MK menurut UU, perkara diajukan dalam waktu 3×24
jam sesudah keputusan KPU. Di DKPP, tidak ada masa kedaluarsa. Jumlah
perkara yang masuk terkait Pilpres ke DKPP sebanyak 15 perkara. Sedangkan yang
memenuhi syarat sidang 14 perkara. Dari jumlah tersebut timbul pertanyaan,
kapan perkara tersebut mulai disidangkan. Pasalnya, masih ada sejumlah perkara
terkait Pemilu Legislatif yang belum selesai. Sehingga pihaknya berpendapat
bahwa kasus Pilpres harus dianggap prioritas karena Pilpres ini adalah ujung
dari Pemilu dan Pilpres itu akan segera menghasilkan pemerintahan baru.
“Jadi kalau bisa, sesudah putusan MK, urusan Pilpes ini selesai. Semua
ketegangan, semua kekecewaan berakhir. Jadi kami mengambil momentum itu untuk
menyelesaikan juga semua kasus-kasus kode etik penyelenggara Pemilu yang
terkait dengan Pilpres (berbarengan dengan di MK, red),†katanya.
Dia mengaku ada pihak-pihak dari luar yang meminta agar pembacaan Putusan
terkait Pilpres di DKPP didahulukan sebelum pembacaan Putusan di MK. Dia
mengetahui maksud dan tujuan pihak-pihak itu. Namun DKPP tidak memenuhi
permintaan pihak-pihak tersebut.
“Nanti yang paling aman adalah Putusannya bareng dengan di MK,†jelas
mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Jimly pun menegaskan bahwa apa pun hasil Putusan di DKPP itu tidak akan
mempengaruhi terhadap hasil Pemilu. Pasalnya, di DKPP yang dinilai adalah
perilaku para penyelenggara Pemilunya. Contohnya, sudah ada. Pelaksanaan
Pemilukada Depok.
“Contohnya waktu memberhentikan Ketua KPU Depok. Pemilukada sudah terjadi 2
tahun sebelumnya. Baru ditemukan pelanggaran berat di kemudian hari, sehingga
dipecat. Tapi hasil Pemilukadanya tidak bisa diganggu gugat karena sudah
berakhir dengan putusan MK yang memenangkan si walikota sekarang. Tidak bisa
gara-gara Ketua KPU diberhentikan, maka walikotanya juga harus diberhentikan.
Ini tidak bisa begitu. Ini dua hal yang berbeda. Proses dan hasil Pemilukada
sudah selesai di MK,†tutup Jimly. (ttm)