Bali, DKPP – Ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Harjono mengatakan ada perbedaan yang
sangat substansial antara etika dengan hukum. Etika semestinya meng-internalized pada
diri penyelenggara Pemilu secara otomatis. Pasalnya, pendekatan hukum itu
peraturan-peraturannya harus dipelajari dulu. Sementara pendekatan etika,
muncul dengan sendirinya. Misalnya, terkait independensi.
Menjelang Pemilu, salah seorang calon
peserta Pemilu mengajak kita ketemu di cafe. Tanpa kita mempelajari peraturan
pun, kita sebagai penyelenggara Pemilu sudah bisa merasakan bahwa pertemuan
tersebut bisa menimbulkan kecurigaan keberpihakan,†katanya dalam
acara Rapat koordinasi Bawaslu Provinsi se-Indonesia dan Peningkatan
Kapasitas Staf Sekretariat Panwaslu/Bawaslu Kabupaten/Kota Dalam Penerimaan
Pengaduan Pelanggaran Kode Etik di Tanjung Benoa, Bali, Minggu (10/12/2017) di
Bali.
Acara ini dihadiri oleh Ketua dan Kepala
Sekretariat Bawaslu Provinsi seluruh Indonesia, dan staf Sekretariat
Panwaslu/Bawaslu Kabupaten/Kota se-Kalimantan dan Bali. Anggota DKPP
yang hadir: Prof Muhammad, Prof
Teguh Prasetyo, Alfitra Salamm, dan Ida Budhiati.
Untuk itu, independensi harus dipegang
teguh oleh penyelenggara Pemilu. Undang-Undang Dasar mengamanatkan
bahwa Pemilu dilaksanakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat mandiri.
Mandiri itu kita terjemahkan dengan independen atau tidak berpihak terhadap
salah satu peserta Pemilu. Hal tersebut muncul sebagai pelajaran dari
Pemilu-Pemilu selama zaman Orde Baru yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh
penyelenggara Pemilu yang tidak independen. “Zaman Orde Baru, sebelum
pelaksanaan Pemilu tapi hasilnya sudah akan dapat diketahui. Karena
penyelenggara Pemilunya pun dari pemerintah. Sekarang, KPU, Bawaslu, dan DKPP
sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu mesti bersifat independen.
Itu amanat Undang-Undang Dasar,†kata mantan anggota MK RI itu.
Saat ini, untuk menjadi penyelenggara
Pemilu sangat ketat. Kode etik melekat pada mereka. Ada hak-hak yang
terkurangi. Harjono menghargai dan mengapresiasi terhadap penyelenggara Pemilu,
karena tugas menjadi seorang penyelenggara Pemilu, sehingga terpaksa
tidak menggunakan hak politiknya secara penuh. Misalnya, mereka tidak bisa
berpihak, tidak bisa berpartai. Ruang geraknya dibatasi.
“Sesudah menjadi penyelenggara Pemilu baik itu KPU maupun Bawaslu,
dia sudah mengikhlaskan untuk tidak berpartai, berpihak. Menjelang
Pemilu, mereka tidak lagi ngopi bareng dengan calon atau orang-orang partai.
Mereka dituntut independen sebagaimana telah diikrarkan dalam sumpah,â€
katanya. [Teten
Jamaludin]