Biak, DKPP – Anggota DKPP, Dr. Ida Budhiati mengakui, adanya tren turunnya anggaran lembaga penyelenggara pemilu pasca pelaksanaan pesta demokrasi. Hal ini menurutnya kerap terjadi selama era reformasi ini.
“Penelitian disertasi saya menunjukkan bahwa tren anggaran penyelenggara pasca pemilu itu turun secara radikal. Nanti trennya naik lagi kalau ada tahapan pemilu, drastis,” ungkapnya saat memimpin Rapat Persiapan Sidang dan Sosialisasi Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) di Kantor KPU Kabupaten Biak Numfor, Papua, Jumat (11/9/2020).
Ida menilai, hal ini bertolak belakang dengan desain kepemiluan yang sudah cukup komprehensif karena menekankan pada aspek demokratis dalam pelaksanaan dan aspek integritas bagi penyelenggara pemilu.
Tak pelak, ia pun menyebut permasalahan di atas disebabkan oleh belum sebangunnya politik anggaran dengan desain kepemiluan.
“Jadi politik anggaran belum mendukung desain kelembagaan penyelenggara pemilu. Berat jadi penyelenggara itu,” ucap perempuan kelahiran Semarang ini.
Masalah di atas diungkap Ida sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Anggota Bawaslu Kabupaten Biak Numfor, Kasim Abdul Hamid.
Dalam forum yang juga dihadiri oleh jajaran Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Papua, Bawaslu Provinsi Papua, dan Lapas Biak Numfor ini, Kasim bertanya kepada Ida tentang cara pemberian pendidikan politik kepada masyarakat agar paham tentang pemilu yang berintegritas.
Menurut Kasim, masyarakat sangat membutuhkan sosialisasi tentang aspek integritas. Namun, hal ini sulit dilaksanakan lantaran kecilnya dana yang dimiliki oleh lembaga penyelenggara pemilu di tingkat Kabupaten/Kota.
Ida pun menyarankan agar semua jajaran penyelenggara pemilu lebih berpikir keras untuk mencari solusi dari masalah ini. Terlebih, tahun ini Indonesia diguncang oleh pandemi Covid-19 sehingga anggaran dari pemerintah memang diprioritaskan untuk kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Ia mencontohkan, Bawaslu dan KPU di Kabupaten/Kota dapat bekerja sama dengan Pemda atau meminta tolong kepada Pemda untuk “diberi waktu” memberikan materi dalam acara Pemda yang dihadiri oleh camat, lurah, dan tokoh masyarakat.
“Siapa yang membiayai? Ya pemda, pemda itu dalam undang-undang itu memiliki kewajiban untuk membangun demokrasi lokal,” terang Ida.
“Jadi berbicaralah dengan Pak Bupati, Walikota, bagaimana meminta komitmennya untuk membangun demokrasi lokal dan bekerja sama dengan KPU dan Bawaslu,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Ida menuturkan bahwa DKPP menilai bahwa penyelenggara pemilu merupakan aset yang harus dirawat dan dibina oleh negara.
Hal ini bukan tanpa alasan karena data DKPP menunjukkan bahwa dari 1.661 perkara yang disidangkan DKPP selama 2012-2020, 51,3 persen penyelenggara pemilu dinyatakan tidak terbukti melanggar KEPP. Sedangkan penyelenggara pemilu yang dijatuhi sanksi hanya mencapai 44,7 persen dan sisanya adalah ketetapan DKPP.
Berdasarkan data tersebut, Ida menilai bahwa pembentuk undang-undang berhasil melakukan rekayasa sosial, membangun sistem integritas pemilu dimulai dari integritas penyelenggara pemilu.
“Ke depan bapak ibu harus kampanye di mana-mana, jangan ragukan kelembagaan penyelenggara pemilu, kami kredibel,” tegas Anggota KPU RI periode 2012-2017 ini.
Terkait 44,7 persen penyelenggara pemilu yang dijatuhi sanksi oleh DKPP, Ida menyebutnya sebagai perilaku oknum-oknum yang telah mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu sehingga tidak relevan jika digeneralisir.
“Kalau di dalam rumah ada tikus, tikusnya yang kita keluarkan dari rumah, bukan rumahnya yang dibakar,” ujar Ida menganalogikan.
Berdasar hal di atas, ia pun mengakui bahwa sudah sewajarnya negara lebih merawat “aset” yang telah menjaga kualitas pemilu dan demokrasi Indonesia dengan memberikan anggaran yang lebih proporsional tanpa membedakan masa pemilu atau nonpemilu.
Anggaran ini, menurut Ida, dapat digunakan sebagai “modal” untuk sosialisasi pemilu yang berintegritas kepada masyarakat. “Bagaimana mungkin pemilu dapat berintegritas jika tidak diintervensi edukasi?” kata Ketua KPU Jateng 2008-2012 ini.
Menurut Ida, sosialisasi terkait pemilu seringkali dikorbankan karena saat memiliki anggaran jumbo, KPU atau Bawaslu harus mengalokasikan anggarannya untuk tahapan pemilu atau pilkada.
Tanpa sosialisasi lantaran kecilnya anggaran yang dimiliki, KPU atau Bawaslu di tingkat Kabupaten/ Kota memang kerap dituding tak memiliki pekerjaan jika tidak ada pemilu atau jika daerahnya tidak mengadakan pilkada. [Humas DKPP]