Palembang, DKPP – Menerima honorarium karena jerih payahnya sebagai narasumber dalam suatu acara adalah wajar saja. Namun jika statusnya sebagai penyelenggara Pemilu mesti hati-hati.Tidak bisa sembarangan.
Menurut Anggota DKPP Ida Budhiati, seorang penyelenggara Pemilu dilarang menerima honorarium sebagai narasumber dari kegiatan yang diselenggarakan oleh partai politik. Larangan tersebut tercantum dalam Peraturan DKPP No. 2 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Alasannya, pihaknya ingin menjaga marwah penyelenggara Pemilu agar tidak beban ketika menegakkan kode etik.
“Honor bisa jadi horor dan sumber fitnah,†katanya dalam sesi diskusi Peraturan DKPP No. 2 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, dan Peraturan DKPP No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu di kelas B di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (23/11) pukul 14.00 WIB. Sesi ini diikuti oleh seluruh penyelenggara Pemilu se-Sumatera Selatan.
Namun, lanjut dia, honorarium dari partai politik yang bisa diterima sepanjang bersumber dari APBN atau APBD. Misalnya, untuk pelatihan saksi partai.
Lalu bagaimana dengan honorarium narsaumber dari pemerintah atau organisasi masyarakat? Anggota KPU RI periode 2012-2017 itu menambahkan bahwa peraturan DKPP tidak mempermasalahkan.
“DKPP masih membolehkan sepanjang tidak melanggar asas kepatutan,†tutup anggota KPU Provinsi Jawa Tengah itu.
Alfitra Salamm, anggota DKPP, masih heran karena masih adanya penyelenggara Pemilu yang melanggar kode etik. Pasalnya, mereka sudah mendapatkan bimbingan teknis.
“Bebaskanlah dari kepentingan, karena kepentingan awal dari pelanggaran,†tutup Alfitra. [Teten Jamaludin]