Jakarta, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar acara “Ngetren Media (Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu dengan Media) dengan tema “Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penyelenggara pemilu untuk Pemilu Berintegritas” dan “Peluncuran Buku Pemilu di Indonesia”, yang digelar di Hotel Ashley, Selasa (26/2/19). Buku ini merupakan karya dari anggota DKPP, Ida Budhianto dan Prof Topo, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia.
Penanggap buku ini berasal dari penyelenggara pemilu dan akademisi yakni, Ketua DKPP Dr. Harjono, Ketua KPU RI Arief Budiman, Ketua Bawaslu RI Abhan dan Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Prof. Susi Dwi Harijanti.
Dalam paparannya, Ida mengisahkan, awal mula penulisan buku ini adalah ketika ia tengah menyelesaikan disertasinya pada beberapa tahun lalu. Pada saat itu, oleh promotornya Prof. Mahmud MD disarankan untuk bertemu dengan Topo untuk membahas topik disertasinya yang berkaitan dengan politik hukum Pemilu Indonesia. Judul dari disertasi Ida adalah Rekonstruksi Politik Hukum Penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia.
“Dalam perjumpaan itu, kebetulan topik disertasinya itu adalah pemilu, bicara tentang kelembagaan penyelenggara. Jadi Prof Topo menawarkan untuk melengkapi data, mungkin Prof Topo juga melihat profil saya sebagai penyelenggara pemilu di era reformasi,” jelas Ida saat diskusi.
Ida menguraikan, di dalam buku ini bercerita tentang detil evolusi penyelenggara pemilu di Indonesia selama tiga era, yakni Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Ida mengatakan, bukunya juga menggambarkan spirit penyelenggara pemilu untuk menegakkan pemilu di tanah air.
Peraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro (Undip) ini menambahkan, secara teoritis, pemilu berkualitas akan tercipta dengan adanya penyelenggara yang independen. Setiap era di Indonesia, lanjut Ida, memiliki corak dan warna tersendiri dalam desain dan penyelenggara pemilu.
Dalam Orde Lama misalnya, penyelenggara Pemilu adalah gabungan dari unsur pemerintah dan legislatif. Namun demikian, pemilu yang dihasilkan masih cenderung lebih baik dibandingkan dengan pemilu lainnya, termasuk pelaksanaan pesta demokrasi pada era Reformasi.
Sementara saat Orde Baru. Pemilu tidak memiliki kepastian hukum dan cenderung membuahkan hasil yang sama dalam setiap pemilu. Pemilu 1955 disebut Ida sebagai pesta demokrasi “idola” dari semua perhelatan pemilu selama Indonesia berdiri.
“Khusus Pemilu 2004-2019, yang saya tonjolkan adalah visi dari penyelenggara pemilu eranya Prof. Ramlan Subakti yang meletakkan pondasi tata pemilu di Indonesia, yang memperhatikan aspek hukumnya dan aspek keadilan pemilu. Jadi KPU periode itu bekerja keras untuk mengadakan pemilu dalam kepastian hukumnya,” jelasnya.
Menurutnya, sebelum era Reformasi, pemilu di Indonesia hanya memperhatikan aspek prosedural atau hukum pidana saja, berbeda dengan saat ini yang telah menyentuh aspek substansial. Selain itu, pada tataran pelanggaran pemilu juga tak hanya tersentuh oleh hukum pidana saja, melainkan telah merambah pada kode etik penyelenggara pemilu.
“Ada juga aspek pengawasan yg mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Kalau kita perhatikan, Indonesia ini berjalan dari masa gelap hingga datang masa terang,” imbuh Ida.
Pada acara yang sama, Prof. Topo menambahkan, sebagian isi dari buku “Pemilu di Indonesia” merupakan disertasi dari mahasiswa yang pernah dibimbingnya (Ida Budhiati-red). Dalam buku ini, katanya, terdapat pelanggaran pemilu yang pertama kali terjadi di Indonesia.
“Ternyata pada (Pemilu) 1955 itu sudah ada pelanggaran pemilu dan sudah diadili. Misalnya intervensi sebagai penyelenggara, zaman itu sudah ada dan diproses oleh penegak hukum. Jadi konteks kekinian, penyelenggara pemilu harus independen dan semua pihak harus menegakkan aturannya,” kata Topo.
Hanya saja, ia mengakui, buku ini masih belum sempurna karena belum menyertakan hasil dari Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan pada 17 April mendatang.
“Tiada gading tak retak, bersama Bu Ida nanti saya akan memperbaiki dan melakukan revisi untuk edisi kedua,” tutupnya. [Wildan]