Banjarmasin,
DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP)
Jimly Asshiddiqie menyampaikan Kuliah Umum di Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Antasari Banjarmasin pada Hari Senin (15/6/2015). Kuliah Umum tersebut
mengambil Tema: Etika Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang diselenggarakan atas kerjasama IAIN Antasari dengan DKPP.
Secara garis besarnya, etika atau ‘ethics’ merupakan satu
cabang filsafat yang memperbincangkan tentang perilaku benar (right) dan baik (good) dalam hidup manusia. Filsafat etik tidak hanya menaruh perhatian pada soal
benar dan salah seperti dalam filsafat hukum, tetapi lebih dari itu juga
persoalan baik dan buruk. Tujuan utamanya adalah kehidupan yang baik, the good life, bukan sekedar
kehidupan yang selalu benar dan tidak pernah salah. Namun dalam praktik,
keduanya menyangkut substansi yang menjadi esensi pokok persoalan etika, yaitu
benar dan salah (right and wrong),
serta baik dan buruknya (good and bad)
perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Terang
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
menurutnya, dalam
perbincangan konkrit sehari-hari, kebanyakan orang biasanya lebih mengutamakan
soal benar atau salah, ‘right or wrong’.
Karena, benar-salah ini lebih mudah dan lebih jelas dipandang mata. Dalam soal
makanan saja pun, orang Islam diajarkan oleh al-Quran agar hanya makan “makanan
yang halal lagi baikâ€, tetapi dalam praktik yang dipikirkan orang hanya
“makanan yang halal†(halalan) saja,
abai dengan “makanan yang baik†(thoyyiban).
Padahal, dalam al-Quran, kedua konsep “halalan
thoyyiban†(halal lagi baik) itu merupakan satu kesatuan konsepsi tentang
makanan yang dianjurkan. Makanan dapat dibedakan antara (i) makanan yang halal
tetapi tidak baik, (ii) makanan yang baik tetapi tidak halal, dan (iii) makanan
yang tidak halal dan juga tidak baik. Ketiga jenis makanan tersebut tidak
dianjurkan ataupun diperintahkan dalam al-Quran. Yang diperintahkan dengan
tegas untuk dimakan justru adalah (iv) makanan yang halal lagi baik.
“Demikian pula
dalam pembahasan tentang etika, banyak tulisan yang untuk mudahnya menjelaskan
tentang pelbagai persoalan etik dengan pendekatan benar-salah saja. Apalagi
dengan berkembangnya kecenderungan baru yang saya namakan sebagai gejala
positivisasi etika dimana perumusan tentang nilai-nilai etik dan standar
perilaku ideal mulai dituliskan dan dibangunkan sistem kelembagaan penegakannya
secara konkrit dalam praktik, menyebabkan pengertian orang akan etik itu tumbuh
dan berkembang menjadi seperti norma hukum juga, yaitu melibatkan pengertian
tentang benar-salah yang lebih dominan daripada pertimbangan baik-burukâ€.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Tim
Independen yang dibentuk Presiden Joko Widodo ini menerangkan, dapat dikatakan bahwa di dalam rumusan-rumusan haluan
negara (state policies) seperti
unsur-unsur yang memang seharusnya diikuti, tetapi bukan sebagai kewajiban
hukum yang konkrit dengan disertai oleh ancaman sanksi yang bersifat memaksa
dan dapat ditegakkan di pengadilan (enforceable). Keharusan-keharusan
tersebut dapat kita pandang sebagai anjuran-anjuran positif, yaitu anjuran agar
prinsip-prinsip dimaksud dijadikan sebagai pegangan yang diwujudkan dalam
praktik. Adanya anjuran positif itu dari sudut pandang yang berbeda, dapat pula
dipandang sebagai anjuran negatif, sehingga dalam rumusan-rumusan norma hukum
dewasa ini terkandung pula unsur-unsur kaedah anjuran seperti dalam norma agama
dan norma etika sebagaimana diuraikan di atas.
Karena itu,
anjuran-anjuran konstitusional tersebut dapat kita namakan sebagai etika
konstitusi atau ‘constitutional ethics’ yang dapat melengkapi pengertian
konvensional yang biasa kita pahami selama ini tentang hukum konstitusi ‘constitutional
law’ atau hukum konstitusi. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar modern
dapat kita pahami secara lebih luas, bukan saja sebagai sumber hukum konstitusi
atau ‘constitutional law’, tetapi juga merupakan sumber etika konstitusi
atau ‘constitutional ethics. Sebagai suatu pengertian baru tentu belum
banyak sarjana yang memahaminya. Karena itu, saya sependapat dengan pandangan
ahli konstitusi Amerika Serikat Keith E. Whittington yang merekomendasikan
pentingnya mengembangkan teori tentang ‘constitutional ethics’ ini.
Etika ibarat samudera yang luas, tempat hukum sebagai
kapal keadilan dapat berlayar lepas. Samudera tentu sangat luas terbentang,
tetapi lebih daripada itu, samudera yang luas itu juga harus dipahami sebagai
tempat kapal hukum itu mengapung kokoh untuk mewujudkan impian keadilan dalam
kehidupan. Karena itu, Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat
(1953-1969) pernah menyatakan, “In civilized life, law floats in a sea of
ethics†(Di dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudera
etika).
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia Bidang
Hukum dan Ketatanegaraan ini juga
mengatakan, sistem norma hukum
bukan saja tidak dapat dipisahkan dari etika, tetapi bahkan tumbuh dan tegak
berfungsinya hukum dengan baik hanya dapat terjadi jika ia ditopang dan
didukung oleh bekerja sistem norma etika dalam kehidupan masyarakat yang
berkeadaban. Karena itu, keadilan juga tidak dapat dipisahkan dari keberadaban.
Itulah sebabnya ‘the founding leaders’
Indonesia merumuskan sila kedua Pancasila dengan perkataan “Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab†yang ditulis langsung sesudah sila pertama, “Ketuhanan Yang
Maha Esaâ€. Peradaban suatu bangsa selalu membutuhkan sinergi antara nilai-nilai
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan prinsip keadilan yang diimpikan
dalam sila kedua dalam hubungan yang serasi antara tiga serangkai nilai, yaitu
ketuhanan, keadilan, dan keadaban.
Diakhir
Kuliah Umumnya, Jimly Asshiddiqie selaku Ketua DKPP mengajak kalangan
intelektual kampus untuk mengambil peran aktif dalam rangka mendorong
terciptanya tatanan kehidupan bernegara yang baik melalui penataan sistem etika
kehidupan dalam praktik bernegara. Ia juga menghimbau agar kaum cendikiawan
kampus IAIN Antasari hendaknya berpartisipasi menyumbangkan ide-ide cemerlang
untuk pembangunan moral bangsa. “IAIN sebagai perguruan tinggi beridentitaskan
Keislaman hendaknya menjadi lokomotif untuk memberikan pencerahan lewat
kerja-kerja intelektualnya untuk perbaikan kualitas sistem etika bernegara kita
di masa depanâ€.
Kuliah
Umum ini diikuti oleh Rektor IAIN Prof. Dr. Akh. Fauzi Aseri, Wakil Rektor
Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, Prof. Dr. Syaifuddin Sabda, Wakil
Rektor Bidang AUPK Dr. Sukarni, M.Ag., Direktur Pascasarjana Prof. Dr.
Mahyuddin Barni, MA., Dekan Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam Prof. Dr. H.
Ahmadi Hasan, MH., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Prof. Dr. Abdul
Karim, M.Ag., Kepala Pusat PTIPD Dr. Nurkholis, M.Ag., Dekan Fakultas Tarbiyah
dan Keguruan Dr. Hidayat Ma’ruf, M.Pd., Ketua dan Sekretaris LPM dan LP2M serta
Guru Besar IAIN yang juga mantan Ketua KPU RI Hafiz Anshary, MA. Kuliah Umum
ini juga diikuti selain segenap Civitas Akademika IAIN Antasari juga perwakilan
unsur penyelenggara Pemilu KPU dan Bawaslu Provinsi, serta kalangan media
massa. (rahman yasin/teten jamaluddin).