Bogor, DKPP- Putusan DKPP sesuai pasal 112 ayat
(12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bersifat
final dan mengikat. Akan tetapi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
uji materi terhadap pasal itu, sifat final dan mengikat tersebut banyak digugat
di pengadilan umum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Putusan MK sendiri pada intinya mengatakan bahwa
putusan DKPP tetap final dan mengikat tetapi hanya bagi Presiden, KPU, KPU
Provinsi, dan Bawaslu. Sedangkan bagi para pencari keadilan, dalam hal ini
penyelenggara Pemilu yang diberhentikan DKPP, sifat final mengikat itu tidak
berlaku. Mereka masih bisa menempuh upaya hukum dengan menggugat keputusan
Presiden, KPU, dan Bawaslu ke PTUN.
Putusan MK tersebut menjadi celah hukum bagi
mereka. Hingga saat ini, sudah banyak gugatan ke PTUN yang dilakukan oleh para
penyelenggara Pemilu yang diberhentikan DKPP. Tidak jarang pula gugatan
tersebut dikabulkan oleh PTUN sampai tingkat kasasi.
Anggota DKPP Prof Anna Erliyana dalam acara Peningkatan
Kapasitas Jajaran Sekretariat Biro Administrasi DKPP Tahap II yang
diselenggarakan di Hotel Mirah Bogor , Kamis (8/12), mengatakan, dikabulkannya gugatan
ke PTUN menjadi masalah tersendiri baik terhadap sifat putusan DKPP dan bagi
penyelenggara Pemilu. Terhadap putusan DKPP, terang Guru Besar Hukum
Administrasi Negara UI ini menjadi tidak jelas sifat final dan mengikatnya.
Dia mempertanyakan kewenangan PTUN yang
menguji putusan etika. Menurutnya, sebenarnya DKPP sudah berkali-kali bertemu
dengan MA untuk membahas hal ini. Akan tetapi belum ada hasilnya, karena masih
ada terus gugatan ke PTUN.
“Saya tidak tahu, apa ini belum disampaikan ke
bawah oleh Ketua MA. Jangan sampai putusan etik bisa diuji di PTUN,â€
ujar Prof Anna.
Prof Anna juga mengungkap efek dari dikabulkannya
gugatan atas hasil putusan DKPP itu. Di lapangan, menurutnya, banyak
penyelenggara Pemilu yang berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi,
penyelenggara Pemilu sebagai atasan harus mematuhi putusan DKPP untuk
menerbitkan SK pemberhentian. Kalau tidak, mereka bisa dianggap melanggar etik.
Tetapi di sisi lain, ada putusan pengadilan yang seharusnya diikuti.
Hakim Agung MA untuk Kamar TUN Irfan Fachruddin yang
menjadi narasumber acara ini menerangkan bahwa keputusan MA terhadap pelbagai
masalah harus diputuskan melalui rapat antar Kamar Hakim. Untuk masalah yang
terjadi terhadap banyaknya gugatan hasil putusan DKPP, juga harus diputuskan
dalam rapat itu.
“Setahu saya, belum pernah ada rapat antar kamar
hakim untuk membahas masalah ini. Mudah-mudahan segera ada rapat antar kamar,â€
jelas Irfan.
Irfan mengakui, memang ada kelemahan dalam proses
peradilan etik di DKPP ini. Dia membandingkan dengan proses sengketa di lembaga
lain yang selalu ada kanal bagi para pihak yang tidak puas untuk banding.
Misalnya di Bawaslu, juga ada kanal bagi yang tidak puas dengan keputusannya
melalui pengadilan umum. Putusan DKPP pun, sepengetahuannya, masih banyak yang
lemah di pelbagai sisi. Itu pula yang menjadi alasan kenapa banyak putusan PTUN
yang memenangkan penggugat. [Arif Syarwani]