Jakarta, DKPP – Anggota DKPP, Dr. Ida Budhiati menjadi Narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) “Reviu Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019”. Kegiatan ini diselenggarakan secara virtual oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Kamis (16/07/2020), pukul 14.00 WIB.
Dalam kegiatan yang diikuti oleh jajaran Bappenas dan Kemenko Polhukam ini, Ida memberikan materi terkait desain Penyelenggara Pemilu di Indonesia yang mengalami beberapa kali perubahan.
Pada era Orde Baru, katanya, model pemilu yang digunakan adalah The Government Model, di mana pemilu dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah juga menjadi pesertanya. Pemerintah sebagai peserta pemilu yang dimaksud Ida adalah partai penguasa yang mendominasi pemerintahan selama Orde Baru berlangsung.
Hal ini pun berubah pada era reformasi. Pada Pemilu 1999 yang merupakan pesta demokrasi pertama pada era reformasi, jelas Ida, model yang dipakai adalah the mixed model di mana ada unsur pemerintah, wakil peserta pemilu dan unsur representasi masyarakat dalam lembaga penyelenggara pemilu.
Namun, model ini kembali berubah beberapa tahun selanjutnya seiring dengan diubahnya Undang-undang Dasar (UUD) 1945 atau amandemen UUD 1945. Pasca amandemen, model penyelenggara pemilu di Indonesia menggunakan the independent model dengan ciri representasi sipil yang kuat.
“Model penyelenggara yang independen pasca amandemen juga mengalami evolusi dari tahun ke tahun di mana pada tahun 2001-2011 hanya dikenal dua penyelenggara pemilu, yaitu KPU pelaksanan tahapan penyelenggaraan pemilu serta Bawaslu yang mempunyai tugas mengawasi tahapan dan peserta pemilu,” terang Ida.
Kedua institusi tersebut juga diharuskan menjaga tingkah laku penyelenggara pemilu tingkat ad hoc yang menjadi jajarannya masing-masing.
Namun, desain dan struktur dalam penyelenggaraan pemilu tak berhenti di situ karena terus dievaluasi hingga terdapat tiga penyelenggara pemilu seperti sekarang, yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP. DKPP sendiri merupakan lembaga yang dibentuk untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu secara objektif karena sebelumnya penegakan kode etik hanya dilakukan secara internal.
Ia menambahkan, DKPP hanya ada di tingkat pusat dan bersifat permanen. Beda dengan lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu sebelumnya yang bersifat internal dan ad hoc.
“Desain ini sangat unik di mana terdapat tiga penyelenggara pemilu di indonesia dalam satu kesatuan fungsi yang masing-masing memiliki tugas berbeda dan independen,” jelas Ida.
Lebih lanjut, Ida mengatakan bahwa meskipun secara kelembagaan bersifat permanen dan melaksanakan tugas secara berkesinambungan, tetapi hingga kini lembaga penyelenggara pemilu belum mendapat dukungan resources yang memadai.
Terlebih, metode seleksi sentralistik menambah beban penyelenggara pemilu tingkat pusat dan tidak sejalan dengan desain kelembagaan yang bersifat hierarkis.
Untuk diketahui, kegiatan ini digelar untuk mendapatkan data, informasi, dan masukan terkait pelaksanaan Pemilu 2019. Selain pemaparan di atas, Ida memberikan enam rekomendasi untuk pelaksanaan pemilu yang akan datang.
Enam rekomendasi tersebut yaitu
1. Desain kelembagaan penyelenggara pemilu disesuaikan dengan sistem pemilu yang akan datang;
2. Memperkuat kelembagaan penyelenggara pemilu merevisi UU No. 7 Tahun 2017 yang materi muatannya mengatur pengisian keanggotaan KPU Provinsi, KPU Kab./Kota secara berjenjang;
3. Dukungan anggaran memperkuat kelembagaan penyelenggara untuk melakukan pendidikan pemilih, mengelola data Pemilu, informasi Pemilu secara berkesinambungan;
4. Kelembagaan Bawaslu diperkuat menjadi penegakan hukum pemilu yang menjalankan fungsi Peradilan. Sedangkan Fungsi pengawasan dan pemantauan dijalankan oleh Masyarakat Sipil. Kemudian penyelesaian sengketa hasil oleh Mahkamah Konstitusi;
5. Merevisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 yang materi muatannya mengatur pendanaan pilkada bersumber dari APBN; dan
6. Sekretariat DKPP disesuaikan desain lembaga penyelenggara pemilu yang independen. [Humas DKPP]