Jakarta, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Dr. Harjono mengatakan, masyarakat sebaiknya tidak hanya melihat satu aspek saja terkait pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Menurutnya, banyaknya jumlah perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu jangan hanya ditekankan pada aspek kecurangan atau pelanggaran saja.
Hal ini disampaikan Harjono dalam program “Menuju Pemilu 2019” yang ditayangkan langsung oleh Kompas TV pada Selasa (16/4/2019) sore.
“Jadi menafsirkan banyaknya kasus sebagai banyak kecurangan saja, tapi harus ditafsir balik, betapa seriusnya kita menjaga marwah lembaga penyelenggara pemilu,” jelas Harjono.
Pernyataan di atas merupakan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh penyiar Aiman Wicaksono. Kepada Harjono, Aiman menanyakan perihal keraguan masyarakat terhadap kredibilitas penyelenggara pemilu dalam pesta demokrasi tahun ini.
Sejak berdiri pada 2012, jumlah pengaduan yang diterima DKPP mencapai 3.274 laporan. Dari semua laporan yang masuk, hanya 28 persen atau 1.271 laporan yang masuk meja persidangan.
“Kita sangat serius (menjaga lembaga penyelenggara pemilu agar tetap dipercaya masyarakat),” tegasnya.
Ia menambahkan, DKPP terus melakukan sosialisasi ke berbagai daerah agar masyarakat lebih memahami pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Sosialisasi tersebut, kata Harjono, juga disertai oleh pemberitahuan tentang mekanisme pengaduan kepada DKPP.
Meskipun pengaduan dan jumlah perkara yang disidangkan memiliki tren meningkat, ia menyebut bahwa jumlah penyelenggara pemilu yang terbukti bersalah masih jauh lebih kecil jika dibandingkan jumlah yang tidak terbukti bersalah. Harjono menambahkan, DKPP akan merehabilitasi atau membersihkan nama baik penyelenggara pemilu yang memang tidak terbukti bersalah.
1.271 perkara yang disidangkan DKPP sendiri melibatkan 4.892 penyelenggara pemilu. Dari jumlah itu, ungkap Harjono, hanya 48,6 persen Teradu yang diberikan sanksi oleh DKPP. Sisanya, yatu 51,4 penyelenggara pemilu yang menjadi Teradu terbukti tidak bersalah dan direhabilitasi nama baiknya.
“Yang tidak terbukti itu lebih banyak dibanding yang terbukti. Antara yang direhab dengan yang diberikan sanksi ini perbandingannya sangat jauh,” tutup mantan Wakil Ketua MK RI itu. [Wildan]