Jakarta, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tak perlu ditakuti. Kita maunya dicintai. Namun ternyata, banyak sekali aduan pelanggaran kode etik Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Selama setahun ini, DKPP sudah menangani 70 perkara. Aduan tersebut sebagian besar kondisinya dalam keadaan gawat.
Demikian disampaikan oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH saat menjadi narasumber dalam acara Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi Gelombang I Tahun 2013 di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng Selatan Jakarta Pusat, Jumat ( 24/05). “Ada (lembaga penyelenggara Pemilu, red) yang berpihak. Rata-rata yang diterima DKPP itu adalah soal independensi dan netralitas,” jelas pria berkaca mata itu.
Dia menerangkan, dalam memutuskan perkara DKPP akan menoleransi anggota lembaga penyelenggara Pemilu yang masih kurang profesional. Asalkan, kata dia, jujur dan ada argumennya. “Tapi kalau soal independensi, tidak ada ampun. Salah itu bukan jahat. Yang tidak boleh itu jahat,” jelas dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu.
Jimly menerangkan, DKPP dibentuk agar penyelenggara Pemilu ini berintegritas dari sudut pandang etika. DKPP merupakan tempat pengadilan etika anggota KPU, KPU daerah dan anggota Bawaslu, Panwaslu. “Diadili bila lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu ini melanggar etika,” ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Jimly meminta agar semua lembaga penyelenggara Pemilu independen, dan kelihatan independen atau tidak memihak. “We must be imparsial and look imparsial. Jangan kita lakukan apapun yang bisa menimbulkan kecurigaan bahwa kita tidak imparsial,” tegas dia.
Akan tetapi, sambung dia, bukan berarti lembaga penyelenggara Pemilu harus menjauh dengan semua peserta Pemilu. Sebab, lanjut dia, lembaga penyelenggara Pemilu itu memiliki dua tugas. Pertama, lembaga penyelenggara Pemilu melayani voter, pemilih. Kedua, partisipan (peserta Pemilu). Keduanya harus dilayani. Dan, lembaga penyelenggara Pemilu mesti bergaul dan dekat dengan partisipan atau voter. “Kedekatan itu tidak boleh terhadap salah satu pihak saja,” jelas dia.
Dia juga meminta kepada seluruh anggota penyelenggara Pemilu untuk menyukseskan pesta demokrasi ini. Bila berhasil, lanjut dia, maka keberhasilan itu akan memiliki dampak yang sangat besar. Pertama, bagi demokrasi di Indonesia akan sehat. Kedua, dengan adanya DKPP ini bakal menjadi pelajaran bagi dunia. “Karena this is the first etichal court in the world,” jelas dia.
Jimly menambahkan, semua lembaga di dunia memiliki peradilan etik. Di mana-mana membangun komite etik di setiap lapisan jabatan. Apalagi di Amerika ada yudicial commision-nya. Namun hanya baru di Indonesia dan di lembaga penyelenggara Pemilulah yang mekanis etik ini dilakukan melalui persidangan yang digelar secara terbuka.
Dia pun sangat prihatin dengan lembaga etik keprofesian. Ia memisalkan, profesi dokter. Tidak sedikit dokter-dokter yang melanggar kode etik, namun tidak ada yang diberhentikan. Contoh profesi lain adalah di kehakiman. Komisi Yudisial pernah menyidangkan Ahmad Yamani. Sanksinya hanya sekedar menyarankan agar Yamani mundur. Kemudian pelanggaran etik yang dilakukan oleh Arshad Sanusi, Komisi Yudisial hanya meminta agar yang bersangkutan mempercepat pensiun. “Begitulah kalau sidang tertutup. Tidak tahu prosesnya,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu RI Dr Muhammad SIP MSi berkelakar DKPP itu diibaratkan sebagai malaikat pencabut nyawa. Hal tersebut tidak lepas dari perannya yang telah memberikan peringatan hingga pemecatan terhadap anggota KPU daerah maupun Bawaslu Panwaslu daerah. “Prof ada rekan saya bilang. Ada mobilnya (Prof Jimly) lewat. Malaikat pencabut nyawa baru lewat,” kelakarnya.
Sebagaimana diketahui bahwa kantor Bawaslu dan DKPP satu gedung di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jalan Thamrin No 14, Jakarta Pusat. Bawaslu di lantai 2 sedangkan DKPP di lantai 5. [TTM]