Jakarta, DKPP- Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa keberadaan DKPP merupakan modal sekaligus
model bagi peradilan etik di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Jimly saat
berdiskusi dengan belasan pegiat Hukum Tata Negara di tempat kerjanya, gedung
DKPP Jl MH Thamrin No 14, Jakarta Pusat.
“Undang-undang
menyatakan bahwa putusan kami bersifat final dan mengikat, cara kerja kami sama
seperti pengadilan, sidangnya pun terbuka untuk umum, namun untuk hal-hal yang
perlu dirahasiakan ya sidangnya
tertutup, bedanya yang diproses itu mengenai pelanggaran etika,†kata Jimly.
Dalam
pertemuan yang digelar pagi tadi, Jumat (10/10) selain memperkenalkan DKPP
berikut dengan sejarah pembentukan lembaga tersebut, Jimly juga menjelaskan
betapa pentingnya penegakan etika disamping penegakan hukum. “Hukum itu tegak
di samudera etika, jika pejabat kita beretika, hukum akan lebih mudah membawa
kita ke pulau keadilan,†tuturnya.
Terkait
sanksi, pengadilan etika berbeda dengan pengadilan hukum. Apabila di pengadilan
hukum sanksinya berupa hukuman seperti hukuman penjara atau denda, namun di
pengadilan etika ini sanksi yang diberikan ialah sanksi yang bersifat mendidik.
Selain itu, mantan ketua MK ini juga menyebut bahwa 40 negara di dunia telah
memiliki ethic comission. Komisi etik
dirasa penting untuk dikembangkan di negeri ini, mengingat kita juga memiliki
TAP MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
“Suatu
hari kita harus kembangkan bahwa UUD
1945 bukan hanya constitutional
law tetapi juga constitutional ethics,
dan DKPP telah menjadi pelopor bagi peradilan etik itu sendiri,†tutup Jimly.
(sdr)